JAKARTA, Arcus GPIB – Remaja yang hidup ataupun pernah hidup dalam kondisi keluarga tidak harmonis karena perselingkuhan orang tua tidak jarang dipandang negatif oleh lingkungan sekitar mereka.
Akibatnya, sebut saja bukan nama sebenarnya, Kai, terpaksa putus dengan pacarnya karena pandangan negatif dari orang tua pacarnya. Orang tua pacarnya berpandangan bahwa Kai pasti bukan anak baik-baik sebab berasal dari keluarga yang tidak harmonis.
Alumnus Sekolah Tinggi Teologi (STT) Intim 2012, Eflin Likumahuwa dalam skripsinya menyebutkan, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa keadaan keluarga yang buruk akan menghasilkan anak-anak yang buruk pula.
“Anak dari keluarga tidak harmonis pasti akan menjadi anak yang nakal”, anggapan ini masih banyak dianut oleh masyarakat. Sebagian besar anak korban broken home sangat mudah terpengaruh hal negatif karena tidak adanya pengawasan orang tua sehingga pada akhirnya memang berpotensi menjadi anak yang nakal.
Ketidakharmonisan hubungan orang tua menyebabkan kebutuhan remaja sebagai anak tidak terpenuhi. Artinya, orang tua tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dalam keluarga terhadap anak.
Remaja kemudian merasakan dirinya berada pada posisi korban yang diterlantarkan dan tidak dipenuhi kebutuhannya oleh orang tuanya. Orang tua merupakan sumber dan penyebab penderitaan yang dirasakan oleh remaja.
Perasaan ditinggalkan dan diterlantarkan akibat konflik kedua orang tua ini, dalam jurun waktu lama dapat berpotensi menimbulkan rasa benci dan dendam dalam diri remajaterhadap orangtuanya.
Di sisi lain, Eflin Likumahuwa menyebutkan, ketidakharmonisan dalam keluarga juga dapat menjadi motivator yang memotivasi remaja untuk dapat memperbaiki keadaan hidupnya.
Tekun belajar dan kerja keras sering dianggap oleh remaja sebagai kunci ke arah perbaikan hidupnya. Kesalahan dan kegagalan orangtua dijadikan rambu-rambu yang mengatur rencana kehidupan masa depan mereka.
Namun, katanya, seunik apapun pribadi seorang remaja dalam menyingkapi ketidakharmonisan keluarganya, remaja tetaplah seorang remaja.
Remaja sebagai seorang anak dalam masa peralihannya ke tahap dewasa tentunya masih membutuhkan totalitas peran orang tua untuk membimbing, mengarahkan, membatasi dan menenangkan mereka dalam kebimbangan yang sering mereka temukan di dunia luar rumahnya.
Menurut Eflin, masalah yang sering timbul dalam diri remaja sebagai dampak dari ketidakharmonisan keluarga yang dialaminya ialah munculnya rasa marah yang kemudian berpotensi menjadi perasaan benci.
Perasaan benci ini merupakan suatu bentuk konpensasi atas perlakuan orangtua terhadapnya yang seharusnya tidak ia dapatkan. Rasa benci yang dirasakan remaja terhadap orangtuanya lama kelamaan membuat remaja mulai mempresepsikan orangtuanya sebagai orang asing. Remaja mulai merasakan keasingan dan ketidaknyamanan terhadap orangtua.
Ikatan emosional antar oranagtua anak yang seharusnya dirasakan perlahan mulai hilang. Pada akhirnya remaja remaja sebagai anak tidak lagi memandang orangtua sebagai figure yang harus dihormati dan ditaati dan ditaati. /fsp