JAKARTA, Arcus GPIB – Sebuah talkshow mengangkat tema: Keluarga Indonesia Bangkit & Sejahtera menarik disimak. Talkshow menghadirkan narasumber berkompetensi dibidangnya. Tak heran kalau acara yang diselenggarakan secara daring ini diminati.
Siapa saja narasumber acara yang dipandu Vicson Salamony dan Isti Mahajuni ini? Lima figur beken seperti Dr. Andi Widjajanto, Prof. Miranda Gultom, Dr. Bima Arya, Dr. Griet Helena Laihad dan Pdt. Dinka H. Utomo, M.Th.
Dapat dipastikan kelima public figure menjadi magnit tersendiri bagi peserta dalam acara yang dimotori GPIB Zebaoth Bogor ini dalam acara yang diselenggarakan Sabtu 21 Mei 2022 ini mengulik berbagai hal dari perspektif birokrat, ekonom, psikolog dan agama.
Terungkap, seperti disampaikan Gubernur Lemhannas Dr. Andi Widjajanto bahwa gereja harus terlibat diruang-ruang virtual dengan berbagai platform yang ada.
“Kalau kita gagal mengikuti teknologi terbaru, GPIB bisa kehilangan otoritasnya, otoritas nilai sosial politik kemudian akan diambil oleh pihak-pihak yang memang bisa secara optimal beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang ada,” kata Andi Widjajanto.
Mantan Sekretaris Kabinet ini meminta gereja tidak anti teknologi dan terus berusaha beradaptasi sedalam mungkin tanpa harus dikuasai oleh teknologi. Menurutnya, tantangan kedepan adalah bagaimana mengadapi teknologi yang melompat sangat drastis.
“Kita sudah menggunakan ruang-ruang virtual, kita akan masuk ke ruang-ruang digital. Sebagian besar cara kita bekerja akan sangat dipengaruhi oleh artificial intelligence dengan munculnya plaform media yang baru seperti virtual reality tiga dimensi bahkan empat dimensi dan akan masuk ke era metaverse,” tutur Andi menjawab pertanyaan peserta dalam ruang daring.
Jadi, harap Andi, teruslah mengadopsi teknologi baik ditingkat negara, ditingkat gereja dan juga ditingkat keluarga dan tetap menjaga optimisme.
Ekonom Prof. Miranda Gultom mengatakan, gereja perlu terus melakukan perubahan melalui program-program kerjanya.
“Saya ingin sekali melihat program-program gereja itu berubah, dimulai dari gereja, sehingga kita bisa mengajak semua orang untuk terlibat dalam perubahan,” tandas presbiter GPIB Paulus Jakarta ini.
Dikatakan, gereja harus mampu menghadapi berbagai persoalan dan tidak hanya sekadar mencari bantuan tapi bisa menghadapi tantangan yang ada.
“Gereja tidak boleh cengeng, tidak boleh hanya merasa bahwa kenapa tidak ada yang membantu, tantangan itu harus dihadapi dengan cara yang macam-macam dan eksploratif, kreativitas yang ditingkatkan, yang terakhir, meraih peluang,” tutur Prof. Miranda.
Untuk itu, kata Prof. Miranda, harus ada transformasi dasar, transformasi program. Karena untuk pembuatan program baru, data harus bagus. Database akan membantu gereja untuk bisa membuat program-program kerja yang lebih tetap sasaran dan lebih cepat menjawab tantangannya.
Didalam new normal, keluarga harus hidup sehat, keluarga harus bijak dalam menanggapi perubahan, gereja juga harus bertransformasi dalam kerja layananya dan belajar hal baru.
Dampak ikutan dari pandemi begitu panjang. Tanpa kejadian Rusia-Ukraina saja sudah sangat panjang dan besar dampaknya, secara ekonomi maupun secara verbal dirasakan berat.
Eskalasi Rusia-Ukraina maupun masalah-masalah yang belum terselesaikan, akan menjadi lebih panjang lagi kalau tidak berani melihat mana yang belum dikerjakan, walaupun ada beberapa sektor yang diuntungkan dalam situasi politik saat ini.
Dosen Psikologi Univ. Pakuan Dr. Griet H. Laihad mengatakan mengahadapi akibat pandemi ini menyarankan model-model pembelajaran yang memerdekan dimana anak-anak bisa saling berpartisipasi, menjadi student center bukan teacher center.
“Memerdekakan pembelajan sebagai beban menjadi pembelajaran dengan pengalaman yang menyenangkan. Model-model pembelajaran kolaborasi dimana anak-anak di grup dalam kelas bisa saling berpartisipasi, menjadi student center bukan teacher center,” tutur Dr. Griet.
Dikatakan, akibat pandemi dengan segala dampak psikis yang ditimbulkan perlunya cara pembinaan dengan metode assessment diagnostic dan assessment formatif dan assessment sumatif.
“Di assessment diagnostic ini mengenali anak-anak sebelum pembelajaran dimulai, bagaimana keluaganya, bagaimana hubungan antara ayah dan ibunya, bagaimana pergaulan dia di rumah, bagaimana dengan kakak-adiknya, sehingga kita bisa temukan masalah dan bisa ditangani,” tutur Griet Laihad.
Juga ada assessment formatif, dimana dalam pembelajaran sudah diketahui cara membinanya sehingga gampang untuk mencapai capaian pembelajaran. Sampai dengan assessment sumatif diharapkan sudah selesai dengan hal tersebut.
“Ini, ingin diterapkan di katekisasi. Sebelum memulai katekisasi perlu melakukan assessment diagnostic. Supaya bukan saat terakhirnya baru kita mengetahui, saat mau diteguhkan baru ditemui, (masalah),” kata Griet, warga jemaat GPIB Cibubur ini.
Jadi, katanya, diawal sudah dilakukan assessment yang namanya diagnostic sehingga bisa dibina karena ada pendamping.
Pdt. Dinka Nehemia Utomo, M.Th mengatakan, pandemi berdampak pada corak spiritualitas dalam keluarga-keluarga kristiani. Pandemi membawa orang pada satu keadaan dimana orang tidak siap menghadapinya sama sekali.
Perubahan secara spiritualitas itu ketika harus beribadah secara terbatas. Yang mana itu menghambat relasi persekutuan yang seharusnya bisa mengalami perjumpaan secara langsung. Manusia itu mahluk sosial, orang kristen itu adalah bagian dari orang-orang yang percaya yang ada dalam persekutuan.
“Ketika itu menjadi terbatas, itu mengubah spiritualitas seseorang. Memang ada orang-orang yang bisa beradaptasi,” kata pendeta GPIB program studi Doktoral ini.
Menurutnya, ini bukan hanya bicara soal teologi, ini juga bicara soal kolaborasi dan sinergi yang melibatkan banyak faktor dan banyak pihak.
Jadi, katanya, ini zamannya kolaborasi dan sinergi, bagaimana teologi berdialog dengan bidang-bidang keilmuan yang lain. Perlu ada semacam assessment supaya lengkap apa yang dilakukan gereja terhadap anak-anak, suami dan istri dsb.
Dalam keluarga itu ada penerimaan, ada afirmasi, forgiveness, dan hospitality. Aspek-aspek inilah yang mencerminkan bahwa keluarga-keluarga telah menghayati dan menerima kasih Allah dan itu dipancarkan dalam relasi kebersamaan saling menggembirakan dan saling memberdayakan, saling memotivasi dan saling menguatkan. Jadi kehadiran perlu dan penerimaan juga penting.
Lanjut disampaikan, gereja itu adalah keluarga Allah, gereja juga persekutuan yang menghayati cinta kasih Allah itu perlu juga menghadirkan dirinya sebagai sacred shelter, tempat pernaungan yang kudus dalam dalam skala yang lebih besar dari keluarga sebagai tempat penguatan.
Karenanya, Pdt. Dinka mengusulkan, setelah gereja berkutat sebagai gereja yang ramah anak, gereja perlu juga menjadi gereja yang ramah keluarga.
Gereja perlu juga melakukan pendampingan terhadap keluarga, pendampingan terhadap orang tua, lebih spesifik lagi pendampingan terhadap suami, pendampingan terhadap istri.
Terungkap, kata Pdt. Dinka, bahwa kehadiran para bapak ditengah-tengah keluarga sangat minim. Sambutan-sambutan dalam keluarga seringkali melempar tanggung jawab rumah kepada ibu atau istri karena suami atau bapak bekerja diluar.
“Ini dikotomisasi, seolah-olah suami tugas diluar, ibu yang didalam,” imbuh Pdt. Dinka, suami dari Pdt. Verra Utomo, Ketua Majelis Jemaat GPIB Solo Utara ini. /fsp