JAKARTA, Arcus GPIB – Jika mengalami pergumulan dan penderitaan karena dosa, maka janganlah hanya duduk berdiam diri dan meratap serta berpangku tangan, bangun dan bertobatlah.
Demikian renungan pagi Sabda Bina Umat (SBU) Sabtu 11 Juni 2022 mengurai Firman Tuhan Yoel 3: 18 dengan tema Tuhan Adalah AllahMu.
Selain bertobat akuilah segala kesalahan di hadapan Allah. Karena TUHAN adalah Allah, dan hiduplah dalam kekudusan dan kebenaranNya.
Allah bukan hanya sebagai “hakim” yang kejam, yang hanya menghukum, tetapi Allah yang Mahakasih, yang memulihkan umat Israel sehingga mereka menjadi umat Allah yang kudus.
Dengan memahami TUHAN adalah Allah Israel, maka sebagai orang percaya diingatkan bahwa kita adalah umat Allah yang berharga. Dalam Keluaran 19:5 dikatakan “…kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri…”
Pernyataan bahwa Aku, TUHAN adalah Allahmu, bukanlah sebuah pernyataan yang sederhana dan dapat diucapkan dengan sembarangan. Namun pernyataan yang memiliki makna sangat dalam bagi bangsa Israel.
Kata ‘Allahmu’ menunjukkan hubungan Allah yang sangat erat dan khusus dengan bangsa Israel. TUHAN memperkenalkan diri-Nya sebagai sekutu Israel dan sebagai Allah yang setia memenuhi segala janji-Nya.
Allah Yang Mahakasih, Mahakudus dan Mahakuasa bukan hanya memahami setiap perbuatan yang bangsa Israel lakukan, tetapi juga membarui kehidupan mereka.
Mereka yang dahulu menjalani hidup di luar Allah dan hidup tidak kudus, sekarang dikuduskan dan hidup di dalam Allah.
Laman librarystftws.org/perpus menyebutkan, gerejapun harus bertobat! Mengapa? Yesus yang berakar dalam dan yang menghidupi kebudayaan itu menjadi inspirasi sekaligus alasan bagi gereja untuk tidak bisa tidak berinkarnasi dalam kebudayaan tertentu.
Apakah gereja sungguh berakar dalam kebudayaan, ataukah masih terlampau ideologis oleh karena cenderung berkutat dengan apa yang dibawanya dari luar kebudayaan?
Gereja sibuk dengan urusan bangun pastoran, gedung gereja yang mentereng lalu lupa berakar dan belajar untuk sederhana sebagaimana rumah-rumah adat warga. Gereja tidak bisa menilai kebudayaan tertentu sebagai kafir dan mesti dihilangkan.
Gereja menempatkan diri sebagai yang datang tamu kepada sesuatu yang sudah ada yakni kebudayaan. Itu berarti gereja mengakarkan diri dalam kebudayaan dan bukan menggantikan kebudayaan tertentu itu.
Dengan berakar dalam kebudayaan gereja tampil bukan untuk ‘memaksakan’ injil dalam kebudayaan menyapa dan menghidupkannya. Karena itu gereja mesti bertobat!
Tobat dari triumfalisme yang dangkal dari keangkuhan memvonis kebudayaan sebagai kafir tidak religius serentak mereformasi diri agar berakar sesungguhnya pada kebudayaan. /fsp