JAKARTA, Arcus GPIB – Pelayanan Diakonia perlu dikembangkan lebih kreatif dengan pengembangan model diakonia reformatif melalui pemberian bantuan modal, pembekalan dan pelatihan serta diakonia transformatif yang memberdayakan dan membebaskan dari ketidakadilan.
“Model diakonia reformatif dan tranformatif diharapkan jemaat-jemaat kecil dan pos penginjilan atau pos Pelkes tidak lagi menjadi objek pelayanan, tetapi menjadi subjek – bagi pembangunan dan pertumbuhan jemaat, khususnya dalam mengatisipasi menuju Indonesia emas 2045,” ungkap Pendeta Johny Alexander Lontoh, M.Min., M.Th saat berbicara dalam forum Indonesia Internasional Pastoral Encounter (IIPE) 2024, 9 Agustus 2024.
Hal ini, kata Pendeta Johny, seiring dengan pandangan Emanuel Lartey, fungsi pastoral untuk sosial dan alam semesta dengan fungsi pemberdayaan dan pembebasan.
Lalu bagaimana dengan diakonia yang dilakukan GPIB selama ini? Di forum tersebut Ketua Majelis Jemaat (KMJ) GPIB Paulus Jakarta ini mengharapkan GPIB serius melakukan pengembangan pelayanan diakonia dari diakonia karitatif ke Reformatif dan tranformatif.
”Pengembangan pelayanan diakonia dari diakonia karitatif ke Reformatif dan tranformatif perlu terus dikembangkan di GPIB. Untuk itu diperlukan keseriusan dan kolaborasi 6 bidang pelayanan di GPIB untuk bersama bersinegi kearah itu,” kata Pendeta Johny.
Ia menandaskan, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) memerlukan pengembangan pelayanan dari diakonia karitatif ke arah diakonia reformatif dan diakonia tranformatif.
Pengembangan diperlukan seiring pandangan GPIB yang merubah konsep Pekabaran Injil ke PELKES yang dicetuskan pada pertemuan di Sriwedari Lampung tahun 1978.
Tiga tugas panggilan gereja yakni persekutuan, pelayanan dan kesaksian sebagai sesuatu yang berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
GPIB hadir tidak hanya melakukan pemberitaan Injil untuk “memenangkan jiwa”, tetapi bersifat holistik dengan pelayanan diakonia yang dilakukan untuk peningkatakan dan pemberdayaan ekonomi, sehingga umat yang ada dalam persekutuan merasakan damai sejahtera Allah untuk terus bersekutu memuji dan memuliakan namaNya.
Itulah sebabnya pada saat itu ada motivator yang ditempatkan GPIB di Pos-pos Pelkes untuk pengembangan UP2M bersama PPMKI.
Pengembangan pelayanan diakonia dari diakonia karitatif ke Reformatif dan tranformatif perlu terus dikembangkan di GPIB. Untuk itu diperlukan keseriusan dan kolaborasi 6 bidang pelayanan di GPIB untuk bersama bersinegi kearah itu.
Pelayanan diakonia tranformatif bisa saja diawali dengan karitatif kemudian menuju reformatif dan tranformatif.
“Kalau pun, dilakukan bersama dalam sebuah proyek hal ini sangat baik, agar ada sebuah percontohan model diakonia holistik di lingkungan GPIB yang dapat menjadi percontohan atau roll mode dalam pengembangan pelayanan diakonia di GPIB ,” tutur mantan KMJ GPIB Immanuel Medan ini.
Kegiatan pelayanan diakonia di MUPEL Sumut Aceh yang diawali dengan diakonia karitatif, kemudian menuju diakonia reformatif dan kemudian menuju diakonia transformatif yang sudah berjalan masih banyak kekurangan dan perlu untuk terus dikembangkan serta ditingkatkan.
Pelayanan diakonia dalam kebersaman jemaat – jemaat di Mupel SUMUT Aceh dilakukan pelayanan diakonia karitatif beberapa waktu lalu, jemaat besar atau mampu menopang gaji dan pelayanan jemaat-jemaat kecil dan pos – pos PELKES.
Dalam proses pelayanan di jemaat kecil atau pos – pos Pelkes di wilayah Sumatra Utara, ditemukan sebuah fenomena, kehadiran para pria sangat minim untuk beribadah, khususnya Ibadah minggu.
Para pria lebih memilih berada di Lapo – lapo tuak untuk mempercakapkan berbagai hal juga kesulitan kesulitan ekonomi yang mereka hadapi.
Ini menjadi keprihatian pempinan gereja-gereja yang ada di Sumatra Utara dalam beberapa kali pertemuan di PGIW Sumatara Utara dan Badan Kerjasma Antar Gereja (BKAG). Atas kondisi ini dilakukanlah Forum Group Discution (FGD) di Pos Pelkes Tipang, GPIB Mitra Parsingguran.
Gereja harus menjadi garam dan terang, harus berdampak positif bagi kehidupan berjemaat termasuk ditengah kesulitan ekonomi warga jemaat.
“Teologi selalu harus berbicara dan berhadapan dengan masyarakat, maka seluruh usaha berteologi harus mempunyai ciri sosial, kotekstual, agar dapat dimengerti secara lebih jelas dan karena itu lebih berfungsi bagi Gereja,” kata Lontoh mengutip pernyataan J.B. Banawiratma dan J. Muler bahwa Iman Kristiani berkaitan erat dengan tindakan.
“Dengan kata lain, keprihatinan kita sekarang ialah bagaimana Injil sungguh merupakan kabar gembira yang membebaskan bagi Gereja, bagi masyarakat yang konkret sekarang.”
Hasil FGD diperoleh beberapa kesimpulan:
- Warga jemaat sudah dikuasai oleh para tengkulak, sehingga harga jual produk pertanian dikuasai oleh para tengkulak atau toke-toke dalam istilah di Sumatra Utara.
- Warga jemaat tetap dalam kemiskinan, walapun mereka bekerja keras dari subuh sampai sore dan malam hari.
- Para Pria tidak beribadah ke gereja karena tidak mempunyai uang kas untuk memberi berbagai persembahan dan merasa malu jika tidak dapat memberikannya yang dipahami sebagai kewajiban mereka.
- Perlu tindakan konkret untuk memberdayaakan potensi warga jemaat dan membebaskan dari warga jemaat dari ikatan tengkulak.
Menyikapi kondisi ini, program diakonia reformatif dilakukan dengan pemberian bantuan dana untuk mengadaan pupuk dan benih serta upaya kerjasama dengan Poda Coffe di Sidikalang yang dipimpin oleh seorang penggiat diakonia reformatif, Pendeta Samuel Sihombing.
Pertemuan dilakukan dan diinisiasi untuk dilakukan kelompok tani dan Credit Union dalam koordinasi Pendeta Agus Indro Sasmito yang saat itu sebagai Ketua Jemaat GPIB Mitra Parsingguran Nauli. Namun rencana tersebut terhenti seiring dengan datangnya pandemi Covid 19 di awal tahun 2020.
Menurut Pendeta Johny A. Lontoh, saat ini kemajuan berarti sangat dirasakan daerah itu karena penerapan model diakonia, dari karitatif, reformatif dan tranformatif. Produk pertanian Mitra Parsingguran dipasarkan kemana-kemana dan semua menikmati hasil yang diharapkan. Bahkan pemasaran tidak hanya sekitaran Sumatera Utara tapi juga tembus ke Jakarta yang setiap akhir pekan, Sabtu dipasarkan di GPIB Paulus Jakarta.
Pada masa Pademic Covid 19, jemaat GPIB di MUPEL SUMUT – Aceh beralih ke penguatan iman warga jemaat yang dilakukan dengan berbagai ibadah yang dilakuhan secara daring dengan menggunakan fasilitas Live Streming GPIB MUPEL Sumut Aceh dengan dilayani seluruh Ibadah baik Ibadah Minggu, Ibadah Keluarga, Ibadah Pelkat serta Persekutuan Doa dan ditambahkan Ibadah Sharing untuk berbagi pengalaman untuk saling menguatkan dimasa pandemic Covid 19.
Kegiatan diakonia karitatif pun marak dilakukan baik untuk vaksinasi kepada warga jemaat dan Masyarakat umu yang tercapat mencapai 2800 vaksinasi dilakukan.
Selain itu dilakukan pula bantuan pemberikan sembako dan bantuan dana tunai Bagai Masyarakat umum khusunya tukang beca dan “manusia gerobak” atau tuna wisma yang tinggal di gerebak serta warga jemaat.
Tercatat ada 680 KK warga jemaat yang harus dibantu dalam beberapa bulan. Di tengah kondisi pandemic yang dihadapi, kami pun harus berhadapan dengan bencana bajir di Kabupaten Nias Tengan dan Utara, dan gempa bumi di Tarutung dan sekitarnya serta kebakaran tiga rumah di pos Pelkes Gomit.
Dalam Kerjasama dengan Majelis Sinode dan Crisis Center GPIB ditopang dengan dana darurat Pelkes yang dimiliki MUPEL Sumut Aceh GPIB dapat memberikan bantuan banjir di Nias yang diserahkan kepada Eporus BNKP, sebesar 150 juta rupian dan 50 juta diserahkan ke Ephorus HKPB di Kantor Pusat HKBP di Pea Raja Tatutung serta bantuan kebakaran 30 juta.
Dalam proses berjalan, munculnya kesadaran bahwa warga jemaat tidak nyaman untuk terus menerus diberi bantuan katitatif, mereka mereka perlu diberdayakan dan dibebaskan dari ketidak adilan, maka disepakati untuk dikembangkan kembali diakonia reformatif dan tranformatif.
Komisi PEG MUPEL SUMUT Aceh pun di bentuk yang diketuai Pendeta Ridwan Hamonangan Purba (KMJ GPIB Anugrah Pangkalan Brandan, saat itu).
Program PEG pada bulan Oktober 2020 dilakukan dengan membawa produk jemaat-jemaat kecil dibawa ke Medan. Produk pertanian itu adalah beras merah, kopi, tomat, cabe merah kriting, bawang merah, jahe, buah jeruk dan durian dan produk UKM/UMKM.
Produk pertanaian ini diberi harga yang menguntungkan bagi warga jemaat di pos-pos pelkes dan jemaat di Medan mendapatkan harga yang lebih murah dari harga di pasar sehingga semua pihak mendapat untung baik warga jemaat penyedia produk maupun pengguna produk khususnya dimasa pandemi covid 19.
Produk UMKM, antara lain Kerupuk dan Kripik ikan serta teri nasi dari GPIB Siloam Sibolga; tudung nasi dari GPIB Banda Aceh; krupuk Ikan tenggiri dari Pangkalan GPIB Anugrah Pangkalan Brandan; berbagai jus buah-buahan dari GPIB Paulus Binjai dan produk kerajinan tangan dan ulos dari jemaat di kota Medan.
Pengembangan diakonia transformatif dikembangkan dengan pembuatan marketplace online dan kerja sama dengan LGO dari luar negeri di bantu oleh rekan-rekan dari Yayasan Caritas Gereja Roma Khatolik. Namun terhambat karna kesulitan untuk harus merekrut tenaga professional dan terhambat masalah regulasi. /fsp