JAKARTA, Arcus GPIB – Tema Tahunan GPIB 2025-2026 menjadi ulasan menarik Empat Pendeta yang menjadi narabina zoom meeting Pra PST 2025 Senin (03/03/2025) yang dihadiri 600 lebih peserta.
Empat narabina tersebut yakni Pendeta Prof. John Titaley, Pendeta Prof. Geritz Singgih, Pendeta Dr. Meilanny Risamasu, dan Pendeta Dr. Cindy Tumbelaka.
Adapun tema 2025-2026 adalah “Memperteguh Panggilan dan Pengutusan Gereja secara Intergenerasional dengan mendayagunakan Teknologi Digital untuk Mewujudkan Kasih Allah dalam Seluruh Ciptaan” berdasarkan Yesaya 42:5-7.
Menurut Pendeta Dr. Cindy Tumbelaka, tema jika disederhanakan ”Memperteguh Panggilan dan Pengutusan Gereja Secara Intergenerasional.” Gagasan intergenerasional adalah karakter yang dilekatkan pada laku memperteguh panggilan dan pengutusan gereja.
Dengan kata lain, kata peraih Doktor di STFT Jakarta ini, gagasan intergenerasional ini juga menjadi metode andalan dalam gereja memperteguh panggilan dan pengutusannya.
Intergenerasional adalah alternatif yang ditempuh GPIB untuk mewadahi kebutuhan gereja yang harus segera melibatkan orang muda dalam giat pelayanannya sambil tetap memberi ruang bagi orang tua berpelayanan. Gagasan intergenerasional masih perlu digumuli dan dikembangkan sesuai kebutuhan dan konteks GPIB.
Menurut Pendeta Cindy intergenerasional menguatkan kesadaran bahwa setiap pelayan di gereja membutuhkan satu sama lain dan tidak seorang pun dalam melakukan pelayanan itu sendiri. Setiap orang punya bagian tugasnya tetapi bukan berarti dapat menyelesaikan pelayanan gereja secara keseluruhan seorang diri.
Intergenerasional menguatkan tekad untuk menjadikan kolaborasi sebagai budaya dalam gereja. Di berbagai bidang kehidupan, orang menyadari akan perlunya kolaborasi untuk menyelesaikan pekerjaan dan mencapai tujuan namun sistem yang dibangun lebih mengarah kepada kompetisi sehingga kolaborasi tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan.
Juga menguatkan pengakuan gereja terhadap realitas perbedaan lalu menantang para pelayannya untuk mengolah kekayaan ini menjadi kekuatan. Penting bagi setiap orang untuk jujur dalam mengenali, mengakui dan menempatkan dirinya dalam pelayanan gereja, bukan untuk mengamankan posisi dalam pelayanan melainkan menentukan kontribusi maksimal yang dapat dilakukan untuk pelayan gereja.
Sinergi intergenerasi di GPIB tidak serta merta langsung menembus kepada kerja sama antar generasi di berbagai kegiatan melainkan dengan membangun budaya kebersamaan dengan memperhatikan apa yang selama ini membuat jemaat (seolah) berpelayanan bersama tetapi tidak terhubung satu sama lain.
Menyangkut perayaan-perayaan sektoral atau katergorial yang seringkali sebagai ajang persaingan, Pendeta Cindy meminta perlunya dilakukan secara kebersamaan,
”Sebaiknya, rencana menyelenggarakan perayaan-perayaan gerejawi itu disusun bersama sejak awal penyusunan program, bukan beberapa waktu sebelum tanggal pelaksanaan sehingga semua yang terlibat dapat saling memberi masukan, saling membatasi diri bahkan saling menolong,” tutur Cindy.
Keselarasan dan kesinambungan antara pola dan mekanisme pelayanan harus dijaga dan diterapkan oleh semua pihak. Masih banyak pola yang konstruktif dan kondusif dalam realitas berjemaat di GPIB yang dapat dimanfaatkan untuk mengentalkan sinergi intergenerasi yang terarah pada regenerasi GPIB sebagai gereja misioner.
Jika intergenerasi ini sudah menjadi budaya di GPIB maka regenerasi dalam pelayanan bukanlah selalu harus dari yang tua ke yang muda tetapi lebih kepada menempatkan orang yang tepat di bidang yang tepat, right man on the right place.
Inilah yang merupakan kekuatan dari model pelayanan intergenerasional. Akan tetapi, pelayanan intergenerasional yang disalahartikan akan sangat mungkin menuai kritik terkait pelayanan gereja yang didominasi oleh satu keluarga tertentu.
Untuk jemaat yang jumlah kepala keluarga (KK) sedikit, pelayanan gereja yang didominasi oleh satu keluarga sangat mungkin dan wajar terjadi namun untuk jemaat dengan jumlah KK yang banyak, pelayanan gereja sedapat mungkin melibatkan semajemuk mungkin orang. /fsp