JAKARTA, Arcus GPIB – Pertemuan Pra PST 2025 mengungkap banyak fakta. Empat narabina GPIB Pendeta Prof. John Titaley, Pendeta Prof. Geritz Singgih, Pendeta Dr. Meilanny Risamasu, dan Pendeta Dr. Cindy Tumbelaka memaparkan materi pada zoom meeting Senin (03/03/2025) itu.
Pendeta Dr. Meilanny Risamasu mengatakan, dunia sedang berada dalam kondisi darurat ekologis. Pemanasan global semakin nyata tidak dapat dilepaskan dari perusakan ekosistem yang terjadi secara sistematis dan masif akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.
Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai laporan ilmiah mengungkap betapa seriusnya ancaman yang ditimbulkan oleh kerusakan ekologi kaitannya dengan kejahatan lingkungan.
Dalam temu Pra PST yang dihadiri 600 lebih peserta, Meilanny mengungkap bahwa kejahatan lingkungan yang berdampak luas, baik secara langsung melalui deforestasi, pencemaran industri, dan eksploitasi besar-besaran, maupun secara tidak langsung melalui emisi gas rumah kaca yang mempercepat perubahan iklim.
Menurut Meilanny, jika situasi ini terus berlanjut tanpa ada langkah mitigasi serius, maka dampaknya tidak hanya akan merusak ekosistem bumi, tetapi juga mengancam keberlanjutan kehidupan manusia, stabilitas ekonomi global, serta kesejahteraan generasi mendatang.
Salah satu bentuk ekosida yang paling berkontribusi terhadap pemanasan global adalah deforestasi. Hutan tropis di Amazon, Indonesia, Brasil, dan Kongo berperan sebagai penyerap karbon alami yang signifikan serta penghasil oksigen yang menopang kehidupan di bumi.
Namun, laju deforestasi yang tinggi akibat ekspansi industri kelapa sawit, pertambangan, dan urbanisasi menyebabkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer. Akibatnya, efek rumah kaca semakin meningkat, yang pada gilirannya mendorong kenaikan suhu global.
Menyikap kondisi itu, Meilanny berharap gereja harus peduli. Krisis ekologi yang melanda dunia saat ini menyentuh berbagai aspek kehidupan—lingkungan, sosial, ekonomi, politik, budaya, hingga spiritualitas manusia. Degradasi ekosistem yang semakin masif ini merupakan persoalan serius.
Kerusakan lingkungan yang serius ini menjadi penanda degradasi nilai etis dan moral, juga menandakan realita ketidakadilan struktural dan kejahatan sistemik yang memperburuk kesenjangan sosial dan mengancam keberlanjutan hidup banyak komunitas, terutama mereka yang bergantung pada keseimbangan lingkungan.
Eksploitasi sumber daya yang tak terkendali, pemanasan global, dan perubahan iklim telah menciptakan kondisi di mana kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain berada dalam situasi bak “di ujung tanduk”.
”Sayangnya, belum banyak yang peduli atau memandang persoalan lingkungan sebagai prioritas, padahal dalam situasi ini, gereja tidak bisa lagi mengambil posisi netral. Sebagai persekutuan yang berlandaskan kasih dan tanggung jawab atas seluruh ciptaan, gereja harus berperan aktif dalam menanggapi fenomena ini secara teologis dan praksis,” tutur Meilanny.
Menunjuk Kejadian 2: 15 dan Yesaya 42:5-7, Meilanny mengatakan, kehidupan dihembuskan kepada seluruh ciptaan, bukan hanya kepada manusia. Dengan demikian, tanggung jawab gereja dalam merawat ekosistem bukan sekadar pilihan moral, melainkan suatu konsekuensi dari pemahaman iman yang mendalam tentang relasi manusia, alam, dan Allah.
GPIB memiliki peran strategis dalam menjaga keutuhan ciptaan melalui panggilan dan pengutusan yang nyata. Emergensi ekologis menuntut langkah konkret dalam mitigasi perubahan iklim, penguatan ketahanan komunitas, serta advokasi lingkungan.
Gereja perlu membangun mekanisme tanggap darurat yang sistematis, mengembangkan kebijakan lingkungan yang terukur, dan memastikan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas berjalan
secara berkelanjutan. /fsp