JAKARTA, Arcus GPIB – Sosok lelaki ini sangat peduli terhadap regenerasi. Bahkan terlihat antipati terhadap kaum babyboomers yang enggan menyerahkan tongkat estafet kepada kaum milenial.
Ia juga tak suka melihat masih saja ada orang-orangtua yang menganggap diri lebih baik dari anak-anak muda lalu mengatakan: Anak-anak muda itu tahu apa mereka. Mau tahu sosok yang cukup vokal menolak dominasi orangtua terhadap kaum muda? Dia adalah Pdt. Drs. Paulus Kariso Rumammbi, M.Si, Ketua Umum Majelis Sinode GPIB.
Menurutnya, generasi milenial dan generasi Z harus benar-benar diberdayagunakan. Caranya, generasi babyboomers harus mau bersinergi dengan kaum milenial.
“Harus memperhatikan sinergitas antar generasi. Terutama generasi milenial dan generasi Z yang harus diberi ruang yang besar. Generasi babyboomers kayak saya ini nanti di 100 tahun GPIB tinggal 18 persen,” kata Pdt. Rumambi menjawab pertanyaan Argopandoyo dari GPIB TV di Hotel Aryaduta Jakarta (7/3).
Dalam wawancara yang dilakukan di studio mini GPIB TV dalam rangka Persidangan Sinode Tahunan 2022 GPIB tersebut, Pdt. Rumambi mengakui tidak mudah menerapkan pola intergenerasional di Indonesia karena budaya yang ada.
“Tidak gampang intergenerasional di konteks Indonesia, budaya Timur masih mengedapankan orangtua, kearifan senior, senior yang harus tampil. Padahal karunia Tuhan ada pada segala generasi, bukan hanya di generasi senior. Karunia, telenta ada di segala generasi,” ungkap Pdt. Rumambi.
Regenerasi, katanya, harus dimulai dengan cara intergenerasional. Jadi antar generasi harus bekerja sama.
“Di kita ini sudah terjadi generation gap. Bagaimana cara mendidik anak, kita pakai cara mendidik anak sekarang, tidak kena. Budaya harus dinamis tidak bisa statis, karena zaman berkembang, teknologi berkembang pesat,” tuturnya.
“Generasi tua terkadang tidak mau membuka diri terhadap yang muda. Generasi tua kadang-kadang kepala batu juga ya. Kadang-kadang menganggap generasi muda itu tidak tahu apa-apa. Ini budaya Timur masih seperti itu.” Dikatakan bahwa budaya feodal, budaya bapakisme masih sangat kuat.
Dari aspek gereja, kata Pdt. Rumambi, GPIB belum mensupport sistemnya untuk melakukan integenerasional yang baik, termasuk Tata Gerejanya. Ia mencontohkan periodesasi diaken penatua 5 tahun tidak dibatasi.
“Kalau terpilih lagi jadi lagi, ya seumur hidup jadi penatua atau diaken. Lalu dimana regenerasinya,” kata mantan KMJ di GPIB Paulus Jakarta ini.
GKI, katanya, periode presbiternya cuma tiga tahun. Boleh dipilih satu periode lagi. Periode ketiga harus turun, harus jedah, tidak boleh dipilih karena sudah dua periode, sudah enam tahun.
“Primordial juga masih dirasakan di GPIB. Kalau bapak presbiter anak juga harus presbiter Lho. Di gereja kita itu begitu, lebih dihormati. Bapaknya PHM 5 periode, dia harus naik tuh.” /fsp