JAKARTA, Arcus GPIB – Kepemimpinan Yesus bukan kepemimpinan elitis sebagai pusat kekuasaan yang jauh dari umat yang menganggap umat bodoh dan dituntut untuk percaya dan taat sepenuhnya dan partisipasi dibatasi dengan banyak rambu.
Demikian penegasan yang disampaikan Prof. Yahya Wijaya, Ph.D saat menyampaikan materinya dalam acara Pembinaan Madya Pendeta (PMP) yang akan dilaksanakan Departemen PPSDI dan PPK 17 – 19 Januari 2023 di Grand Cemara Hotel, Jakarta.

Ketua III MS Pdt. Maureen S. Rumeser, M.Th dan Sekretaris II Pnt. Ivan G. Lantu, G. Lantu, S.H, M.Kn diantara peserta.
Menurut Yahya, kepemimpinan Yesus juga bukan kepemimpinan populis yang cenderung manipulatif, umat dikondisikan untuk memuja dan membela mati-matian sang pemimpin.
Kepemimpinan Yesus juga bukan prioritasnya popularitas yang fokusnya pada keinginan bukan kebutuhan umat, banyak gimmick dan entertainment, sedikit edukasi apalagi solusi mendasar.

Sesi ibadah
Namun, kata lulusan Doktor dari The University of Leeds ini, Implikasi spiritualitas Yesus dalam kepemimpinannya adalah Yesus mereinterpretasi teologi Kerajaan Allah yang dalam Perjanjian Lama bahwa Kerajaan Allah utamanya adalah tentang kasih, bukan kekuasaan.
“Motivasi kepemimpinan, hati yang berbelas kasihan, jauh dari nafsu ingin berkuasa, haus akan kehormatan atau keinginan menikmati fasilitas. Motivasi Yesus terletak pada nasib orang banyak yang “lelah dan terlantar, seperti domba tak bergembala,” tutur Yahya mengutip Matius 9:36.

Narabina Pdt. John C. Simon, paling kiri.
Yesus memimpin dengan hati, kepemimpinanNya berdampak bukan hanya pada kehidupan sosial tetapi pada dimensi terdalam dan paling personal.
Dalam kesempatan tersebut Pendeta Dr. John C. Simon mengatakan, kepemimpinan itu adalah melayani untuk sebuah perubahan sebagaimana kristus melayani.
“Kepemimpinan yang melayani, yang didefinisikan sebagai kepemimpinan yang mempengaruhi jemaat untuk berubah dalam cara-cara yang lebih jelas dalam mewujudkan kehambaan Kristus,” kata John Simon mengutip Richard Osmer.
Juga disampaikan bahwa Pemimpin harus transformatif, penggerak bagi seluruh anggota jemaat untuk saling membaur satu sama lain demi berbagi tanggung jawab dan berdayaguna baik ke dalam dan keluar gereja.
John Simon yang juga Dosen Ilmu Teologi di STT Intim Makassar mengatakan, pemimpin dan kepemimpin didefinisikan sebagai keterbukaannya untuk melihat potensi jemaat, yang diberdayakan untuk bertanggungjawab penuh pada misi Allah kepada dunia.
Dalam konteks kedudukan dan peran seorang pemimpin itulah, maka jemaat misioner didefinisikan sebagai “melengkapi warga gereja untuk suatu pelayanan dan kesaksian Kristen yang langsung merupakan suatu keterlibatan sosial, ekonomi dan budaya.
Bagimana GPIB? Pendeta John Simon, penulis buku “Pengenalan Diri Menuju Majelis Sinode 80” mengatakan, spiritualitas adalah cara bertindak penuh kesadaran (way of proceeding ) ke atas data pengalaman berupa perjumpaan dengan sesama, alam, berbagai karya imajinasi, yang merupakan ekspresi cinta Allah, serta diungkapkan dalam kesalehan hidup, ibadah, gerak hidup institusi, dan karya sosial transformatif .
Spiritualitas pemimpin GPIB berakar pada tradisi Alkitab adalah Firman Allah, GPIB (multikultural, misioner, perjamuan terbuka), keindonesiaan (Pancasila sebagai teologi rumah bersama, termasuk alam sebagai rumah; oikos), dan pohon tradisi Calvinisme (gereja sebagai ibu, gereja sebagai keluarga Allah, gereja sebagai sekolah. /fsp/Foto: Dennies Gasperzs