BINTARO, Arcus GPIB – Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum Lagislatif (Pileg) semakin mendekat. Ramai di media sosial dan jagad maya tak terhindarkan. Siapa memilih siapa semakin terdengar kencang berharap pasangan calonnya (Paslon) yang dijagokan terpilih.
Benarkah Pemilu kali ini rawan konflik? Praktisi Politik dan juga Staf Bidang Politik PGI Jeirry Sumampow, S.Th menjawab hal tersebut. Menurutnya, politik SARA (Suku, Agama, Ras) dan politisasi identitas bisa jadi yang membuat kekisruhan.
“Apa yang bisa kita lakukan,” tanya Jeirry saat berbicara dalam talk show Pembinaan Politik di Jemaat GPIB Filadelfia Bintaro yang terselenggara atas kerja sama Komisi GERMASA dengan Komisi PPSDI – PPK Sabtu (28/10/2023).
Yang bisa dilakukan sebagai warga gereja adalah melawan politik SARA dan politisasi identitas atau agama dan jangan mau diadu domba serta tidak terjebak dan melakukan politik uang.
Ia berharap pemilih juga kritis dan cerdas menggunakan media sosial dan mau memberikan penguatan dan pendampingan masyarakat agar bisa berpartisipasi secara substansial dalam proses Pemilu. Tidak sekedar menjadi penonton atau objek.
Politisasi SARA, kata Jeirry, menimbulkan kebencian dan permusuhan dan berdampak degradasi kesetaraan. Politisasi SARA adalah upaya untuk menumbuhkan sentimen politik dengan cara mengeksploitasi identitas sehingga menimbulkan kebencian dan permusuhan terhadap yang berbeda dan berdampak mendegradasi identitas.
Dikatakan, munculnya Politisasi Identitas dalamPemilu sebagai arena kompetisi karena orang makin merasa aman dan berlindung dalam “kelompok sendiri” seperti Agama, Etnis, dll serta paham keagamaan yang sempit dan dangkal. Politik identitas dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi opini pemilih demi kemenangan dan itu menjadi bagian dari strategi pemenangan.
Politik Kebhinekaan
Berkembangnya Politik Identitas juga karena regulasi tak cukup “efektif” menjerat Politik SARA. Kesulitan Penindakan Politik Identitas juga karena Perbedaan pemaknaan politisasi SARA ditambah proses penegakan hukum lemah dan waktu yang terbatas untuk pembuktian.
Jeirry menilai, makin beragam masyarakat, ada kebutuhan besar untuk membangun persatuan. Persatuan yang dibutuhkan adalah rasa sebagai bagian dari satu bangsa yang punya komitmen untuk hidup bersama.
Menurutnya, persatuan menjadi buruk bagi keragaman jika ia diterjemahkan menjadi upaya penyeragaman, termasuk dalam anggapan adanya suatu “budaya nasional”.
Dikatakan, dengan Politik Kebhinekaan adalah mencari titik imbang keragaman dan persatuan.
Untuk itu, kata Jeirry, pentingnya partisipasi dalam Pemilu. Partisipasi memberi ruang dan kesempatan kepada rakyat dapat menentukan hak-hak dan mempengeruhi keputusan politik.
Partisipasi dalam Pemilu merupakan hak dasar sebagai bagian dari rumpun hak-hak sipil politik yang meliputi hak atas akses terhadap informasi, kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai, memilih dan dipilih.
“Politik itu adalah Panggilan. Bagi gereja, politik adalah sebuah panggilan untuk melayani umat, bangsa dan dunia ini. Kita menolak menjadikan politik sebagai alat untuk melayani kepentingan pragmatis sekelompok orang saja atau untuk mengejar kekuasaan,” tandas Jeirry.
Sebagai sebuah panggilan, kekuasaan politik adalah titipan Tuhan untuk perjuangan demi mewujudkan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan bagi semua.
Politik gereja adalah politik pelayanan, pembelaan dan pembebasan bagi yang terpinggirkan. Prinsip politik seperti ini seharusnya menjadi tolok ukur bagi gereja dalam mendorong partisipasi warga dalam Pilkada. /fsp