BINTARO, Arcus GPIB – Mengacu kepada program kerja 2023-2024 – Komisi GERMASA bekerjasama dengan Komisi PPSDI – PPK GPIB Jemaat Filadelfia Bintaro mengadakan talk show di Gedung gereja tersebut Sabtu (28/10/2023). Event dilaksanakan sebagai wujud pembinaan politik bagi Warga Gereja.
Ketua Majelis Jemaat GPIB Filadelfia Bintaro Pdt Dra. Yvonne D. Taroreh – Loupatty M.Min mengatakan, diadakannya pembinaan politis tersebut mengingat tahun ini dan tahun depan adalah Tahun Politik Pemilihan Presiden dan Legislatif.
Hal ini juga dilakukan sebagai persiapan bagi seluruh warga gereja untuk bagaimana berperan aktif dalam Pemilu Presiden maupun Pemilu Legislatif. Bahkan juga setahu saya beberapa jemaat kita ada juga,” tutur Pendeta Yvonne.
Ketua I, Plt. KMJ GPIB Filadelfia Bintaro Penatua Elizar Hasibuan mengatakan, Gereja harus memberikan bekal tentang hal-ihwal PEMILU agar hasil PEMILU kelak juga dapat menjadi saluran aspirasi Gereja dalam kiprahnya di Tengah masyarakat dan bangsa Indonesia yang sangat majemuk.
“Tujuan talkshow ini adalah agar warga gereja menyadari sebagai bagian dari Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagaimana masyarakat pada umumnya,” ujar Penatua Elizar Hasibuan.
Narasumber dalam acara tersebut Andi Widjajanto, S.Sos, M.Sc, Ph.D – Gubernur Lemhanas RI tidak datang dalam kesempatan itu. Namun pembicara lainnya bisa hadir dengan pemaparan materi yang menarik antara lain, Ray Rangkuti Direktur Lima Indonesia, Pendeta Dr. Jozef M.N. Hehanussa Dosen di Universitas Kristen Duta Wacana dan Jeirry Sumampouw, S.Th Praktisi Politik.
Ray Rangkuti Direktur Lima Indonesia mengatakan, politik uang merupakan gejala paling ajeg dan massif di dalam pemilu Indonesia. Politik uang bukan saja pemberian uang dari calon kepada para pemilih, tetapi juga penerimaan dana calon dari berbagai sumber.
Tak hanya itu, kata Rangkuti, politik identitas berlaku temporal dan situasional. Karenanya, independensi penyelenggara pemilu harus benar-benar ada, termasuk netralitas ASN. Kampanye tidak tepat waktu dan dilakukan di sembarang tempat. Menurutnya, manipulasi perhitungan suara dan penetapan hasil pemilu bisa saja terjadi
Dikatakan, sejak reformasi 1998, Indonesia memasuki era negara demokrasi yang ditandai dengan pembenahan sistem politik, membentuk lembaga negara demokratis, amandemen konstitusi untuk memperkuat prinsip HAM, kesamaan/kesetaraan warga negara, dan masa bakti presiden, memperkuat peran dan partisipasi masyarakat dalam politik, dan lainnya.
Salah satu tanda negara demokratis itu adalah melaksanakan pemilu yang reguler, dilaksanakan oleh badan yang independen. Prinsip utama pemilu demokratis adalah Partisipatif, Refresentatif, Adil, dan Terbuka.
Partisipasi: seluruh masyarakat diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dalam setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Refresentatif: sistem pemilu memberi ruang bagi implementasi penegakan kedaulatan pemilih/rakyat dalam sistem politik. Adil: seluruh warga negara diperlakukan sama dan setara dalam mempergunakan hak memilih dan dipilihnya dan Terbuka: proses pelaksanaan pemilu dapat diakses seluas-luasnya, termasuk di dalamnya soal data pemilih, hasil pemilu, rekam jejak calon, dan penggunaan dana pemilu.
Keempat prinsip ini saling terkait; baik kepada pemilih maupun yang dipilih. Pemilih butuh ruang partisipasi, refresentasi, adil dan terbuka. Yang dipilih juga membutuhkan hal yang sama.
Untuk itu, kata Rangkuti, pengawasan dalam tahapan formal berupa apakah seluruh pelaksanaan pemilu sesuai dengan Undang-undang, PKPU, Perbawaslu.
Pengawasan dalam tahapan informal memberi masukan apakah calon-calon penyelenggara pemilu memiliki rekam jejak yang bagus, keahlian dan kecakapan serta independen atau mandiri.
Pengawasan dalam tahapan non formal adalah memastikan apakah janii kampanye partai politik, anggota legislatif, dan eksekutif dilaksanakan atau tidak.
Pemilu demokratis dibutuhkan bukan saja agar prinsip-prinsip demokrasi terjaga, tetapi juga untuk memastikan bahwa hasil pemilu sesuai dengan aspirasi warga. Jadi pemilu demokratis itu bukan sekedar untuk demokrasi itu saja, tetapi guna menegakan kedaulatan rakyat.
Pemilih adalah subjek pemilu. Bukan objek! Pemilih bukan saja sederet angka suara, tetapi ia subjek yang menentukan siapa saja yang mendapat mandat untuk mengelola pemerintahan.
Partisipasi pemilih dimulai sejak pelantikan hasil pemilu sampai ke penetapan hasil pemilu berikutnya. Mengawasi janji-janji politik yang dipilih, sampai memastikan bahwa pelaksanaan pemilu berikut terlaksana dengan baik dan demokratis.
Intinya, imbuh Rangkuti, partisipasi masyarakat itu berjalan selama 24 jam setiap saat. /fsp