SINGKAWANG, Arcus GPIB – Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih mengatakan alam harus dirawat, alam itu bukti kehadiran Allah, bukti penciptaan Allah. Dan Tuhan ada di dalam di alam.
“Karena Allah ada di dalam alam, kita tidak bisa sembarangan terhadap alam,” kata pendeta emeritus GPIB, guru besar Teologi di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta ini pada Konferdal Germasa di Singkawang, Selasa (22/08/2023).
Menurutnya, bicara mengenai tanggung jawab etika dalam kaitan dengan kerusakan ekologi, memang baik, tetapi etika saja tidak mencukupi, harus masuk ke ranah agama juga untuk mempertimbangkan bagaimanakah agama menggambarkan hubungan di antara Yang Ilahi, Manusia dan Alam, dan apakah gambaran mengenai hubungan ini berdampak pada ekologi
Mengutip Paus Fransiskus, Gerrit Singgih mengatakan, semua agama perlu melakukan “pertobatan ekologis”. Dengan demikian maka semua agama juga bertanggung-jawab untuk menghentikan kerusakan ekologi, bahkan memulihkan kerusakan ekologi.
“Khususnya di Indonesia, orang Kristen tidak bisa sendiri menghadapi tantangan kerusakan
ekologi. Harus ada “mobilisasi agama-agama” untuk menghadapi perubahan iklim di Indonesia,” tutur Gerrit Singgih.
Pelopor teologi ekologi di Indonesia, Dr. Robert Borrong dari STT Jakarta, menengarai sebab-sebab kerusakan ekologi pada kerakusan atau keserakahan manusia. Bahkan sejarawan Lynn White mengusut agama dan budaya sebagai akar krisis ekologi.
White menunjuk pada agama Kristiani seperti yang dihayati di dunia Barat abad pertengahan, sebagai penyebab kerusakan ekologi masa kini. Maksudnya, dampak dari perubahan pemikiran religius ini berlanjut sampai ke abad 20. /fsp