TORAJA bagi pria asal Maluku ini adalah sesuatu yang istimewa. Istimewa karena ditempat ini dilaksanakan Sidang Raya ke XVIII Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang digelar pada 8 – 14 November 2024 di Kota Rantepao, Toraja.
Terlebih istimewa lagi ia bisa hadir sebagai utusan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Ia adalah Penatua Maxi Djelot Alierbitu Hayer, S.H., M.H., CCD, CPIR.
Ahli Hukum yang tergabung dalam Perkumpulan Perancang dan Ahli Hukum Kontrak Indonesia (PAHKI) ini selalu tampil perfeksionis dalam bekerja bahkan teliti.
Itu terlihat dari sikapnya terhadap keberlangsungan Persidangan Raya (PSR) PGI di Toraja. Ia sangat memperhatikan detil materi yang disampaikan saat Sidang Raya tersebut berkaitan dengan aturan main selama persidangan.
Seperti yang disampaikan Maxi Hayer kepada Frans S. Pong, Redaktur Arcus GPIB, salah satu dari panduan yang ada selama persidengan adalah menjaga kesopanan dalam bertutur. Dalam persidangan, tutur kata harus selalu sopan, baik antara sesama peserta persidangan.
Hindari kata-kata kasar, hujatan, atau cercaan. Prinsip kasih dan kesopanan harus ditegakkan. Menghindari pernyataan yang menyakitkan, hindari komentar atau bahasa yang bisa menyakiti perasaan orang lain, baik itu langsung terhadap peserta atau pihak yang terlibat lainnya.
Pria yang aktif di Dept Germasa GPIB ini cukup awas mentaati aturan main tersebut. Perhatiannya terhadap aturan main Persidangan PGI di Toraja tak diragukan.
Meteri yang berjudul “Kode Etik Persidangan PGI Tentang Pencegahan Eksploitasi, Kekerasan, Dan Pelecehan Seksual” cukup mendapat perhatian Maxi Hayer.
Materi membahas soal komitmen gereja untuk menjaga dan menghormati semua orang apapun latar belakang sosial, ekonomi, gender, kondisi fisik dan mentalnya serta berapapun usianya.
Menurut Maxi, setiap pihak memiliki tanggung jawab yang sama dalam mencegah terjadinya eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan seksual terhadap sesama.
Alkitab mengatakan bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Tuhan peduli pada semua ciptaanNya (Yesaya 49:16). Pelanggaran etis yang dilakukan terhadap sesama manusia, sebagai anggota tubuh Kristus yang berharga (I Korintus 12), berarti menciderai seluruh komunitas dan merusak persekutuan seluruh tubuh Kristus.
Sebagaimana materi tersebut, pelecehan adalah bentuk kekerasan verbal atau non-verbal, termasuk di ruang digital, terhadap seseorang berdasarkan ras/suku, jenis kelamin, gender, status sosial, usia, atau disabilitas fisik/psikis.
Ia sependapat dengan apa yang dirumuskan PGI bahwa pelecehan bertentangan dengan martabat manusia menurut ajaran Kristus.
Pelecehan seksual adalah tindakan yang tidak menghargai kesetaraan dan merupakan pelanggaran nilai moral kristiani. Pelecehan seksual dapat berupa segala bentuk perilaku dari seseorang yang memaksa orang lain melakukan suatu bentuk aktivitas seksual yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan.
Beberapa contoh yang mencakup pelecehan seksual, seperti komentar atau sindiran (body shaming), menggoda, memberikan lelucon seksual, menampilkan gambar atau video pornografi, melakukan transaksi komersial, melakukan pendekatan yang dianggap berlebihan hingga melakukan pemerkosaan.
Dikatakan, salah satu karakteristik umum pelecehan seksual, sering terjadi di tempat yang tidak terpantau oleh orang lain. Pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja tanpa memandang gender atau orientasi seksualnya.
Bagaimana menyikapi kasus-kasus pelecehan, kata Maxi adalah dengan memperhatikan nilai-nilai Kode Etik yakni menghormati martabat dan hak asasi manusia, Nol toleransi terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual, dan mau menjaga kerahasiaan dan perlindungan korban dengan menjaga informasi pribadi dan melindungi dari ancaman atau pembalasan.
Tanggung jawab dan akuntabilias, mendorong kepemimpinan untuk bertanggung jawab dan menyediakan mekanisme pelaporan yang efektif. Menjamin kesetaraan gender dan mencegah diskriminasi. Terbuka dalam pelaporan, mempermudah pelaporan insiden dan menyediakan dukungan bagi korban.
/Frans S. Pong, Redaktur Arcus GPIB