JAKARTA, Arcus – Intoleransi, konflik keagamaan, hingga radikal-terorisme seolah enggan absen dari sejarah kehidupan umat beragama.
Aksi dan konflik yang kelam itu tidak hanya berdampak terhadap kehilangan nyawa, kerugian materiil, serta persoalan pengungsi, tetapi juga menciptakan stigma dan kebencian di masyarakat luas.
Indonesia sebagai contoh, meskipun bangsa ini berakar dan tumbuh dalam keberagaman, dampak tersebut sangat terasa sejak dua dekade terakhir. Krisis kebangsaan menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas hingga saat ini.
Realita tersebut semakin diperburuk dengan paradigma politik, lokal dan nasional, yang dimiliki sebagian kelompok dan partai politik di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini mereka cenderung menghalalkan berbagai cara, termasuk menggunakan isu-isu identitas dan isu keagamaan, untuk beragam kepentingan.
Seperti istilah aji mumpung, kaum oportunis itu menggunakan fenomena segregasi di masyarakat berbasis identitas agama, sebagai senjata pemenangan agenda-agenda politik dan ekonomi mereka. Agama ibarat barang murah dan laris untuk diperjualbelikan demi kepentingan sesaat.
Situasi di atas sejak beberapa tahun terakhir menimbulkan persoalan segregasi dan intoleransi antar-masyarakat. Pelarangan beribadah dan membangun rumah ibadah, provokasi dan penghinaan terhadap ajaran dan tradisi agama tertentu di ruang publik dan media sosial, serta berbagai bentuk persekusi terhadap kelompok minoritas dan rentan, semakin mudah ditemukan.
Sebagai bentuk kontribusi peran PGI terhadap situasi di atas, bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) PGI akan menyelenggarakan Seminar Agama-Agama (SAA) ke-36 dengan mengangkat tema “Umat Beragama Mengelola dan Mengadvokasi Keberagaman di Indonesia.”
Kegiatan ini didukung oleh PGIW Kalimantan Barat (Kalbar), Mission-21, Pemerintah Provinsi Kalbar, KODAM XII Tanjung Pura, Program Studi Agama-Agama IAIN Pontianak, PUSAD Paramadina, dan FKUB Kalbar.
“Ini salah satu bentuk dari upaya kita bersama untuk mengelola, serta mengadvokasi keberagaman. Persoalanpersoalan intoleransi yang terjadi belakangan ini karena kita sendiri juga kurang mendorong pemahaman itu kepada masyarakat. Kita perlu sesering mungkin mendorong dan mengadvokasi hal ini kepada seluruh masyarakat,” kata Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Pdt. Jacklevyn Manuputty, Rabu (24/11) saat menghadiri acara tersebut.
Rangkaian acara akan ditutup dengan Pernyataan Pontianak. “Kami akan mendeklarasikan pernyataan lintas iman untuk merawat dan mengelola keberagaman, ekspresi dan komitmen kita sebagai penggerak perubahan, duta damai, di masyarakat.
Pernyataan ini juga akan disaksikan Gubernur Kalimantan Barat dan tokoh-tokoh masyarakat. Harapannya menginspirasi wilayah lain di Nusantara yang kita cintai ini,” kata Sekretaris Eksekutif Bidang KKC, Pdt. Jimmy Sormin.
Adapun kegiatan pada SAA ini berupa: Seminar tema utama, Presentasi makalah-makalah penelitian untuk isu khusus, Lokakarya: HAM dan KBB (prinsip dan tools), Analisis dan Resolusi Konflik, Strategi Media untuk Advokasi Keberagaman, Rencana Tindak Lanjut, Ramah-tamah bersama Kodam XII Tanjung Pura.
Narasumber dan fasilitator pada SAA ini: Pdt. Gomar Gultom M.Th, Prof. Yudi Latif Ph.D, Dr. Sandra Moniaga, Dr. Samsul Hidayat MA, Dr. Ihsan Ali-Fauzi, Pdt. Dr. (H.C.) Jacklevyn Manuputty, Dr. Ahmad Zainul Hamdi M.Ag, Lasma Natalia H.P., MH, Pdt. Jimmy Sormin M.A, Pdt. Paulus Ajong M.Th. /fsp