Oleh: Dr. Wahyu Lay, GPIB Cipeucang, Bogor
APAKAH tujuan manusia? Setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap tindakan yang tidak menunjang tercapainya tujuan manusia tidak masuk akal.
Itulah prinsip etika Aristoteles dan karena itu etika Aristoteles masuk akal. Hidup kita akan terarah apabila kita melakukannya sedemikian rupa hingga kita mencapai tujuan kita.
Orang yang hidup dengan cara yang tidak sesuai tujuannya akan tercecer. Apapun yang dicapainya akhirnya tidak akan bermakna karena dirinya sendiri berantakan. Oleh karena itu, pertanyaan dasar agar manusia dapat mengatur keidupannya adalah pertanyaan tentang tujuan manusia.
Tetapi, apakah ada suatu tujuan yang merupakan tujuan akhir, yang tidak kita cari demi tujuan lebih lanjut, melainkan demi dirinya sendiri?
Tujuan yang apabila tercapai kita betul-betul puas? Aristoteles bertolak dari pertanyaan ini. Jawaban yang diberikan Aristoteles menjadi amat berarti dalam sejarah etika selanjutnya. Tujuan terakhir mestinya sesuatu yang kalau tercapai, tidak ada lagi yang masih diminati selebihnya, tetapi selama belum tercapai, manusia belum akan puas dan tetap masih mencari.
Apa tujuan terakhir itu? Aristoteles menjawab: Kebahagiaan! Kalau seseorang sudah bahagia, tidak ada yang masih diinginkan selebihnya. Kalau kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka sekaligus menjadi jelas bahwa beberapa hal yang umumnya dianggap menjadi tujuan hidup tidak memadai.
Aristoteles menyebutkan dua tujuan akhir yang salah: Uang dan nama tersohor. Uang atau kekayaan tentu hanyalah sarana untuk bisa bebas dari kekurangan dan untuk lebih menguasai hidupnya sendiri serta untuk dengan gampang memenuhi segala kerinduan.
Jadi, kekayaan merupakan sarana semata-mata dan bukan tujuan pada dirinya sendiri. Kekayaan tidak menjamin kebahagiaan. Maka, orang yang mengarahkan seluruh hidupnya pada kekayaan justru tidak mencapai tujuannya.
Ia justru tidak akan bahagia. Hal nama tersohor adalah berbeda. Sepintas nama tersohor kelihatan seperti tujuan pada dirinya sendiri, atau sekurang-kurangnya, ada orang yang baginya nama besar merupakan tujuan hidupnya.
Tetapi, Aristoteles menegaskan bahwa mendapat nama tersohor merupakan sesuatu dalam pandangan orang lain, bukan sesuatu pada diri orang yang bersangkutan.
Orang bisa tersohor meskipun kurang bermutu. Dan kalau ia tersohor karena mutu dan prestasinya, maka mutu dan prestasinya itu yang perlu diusahakan, bukan nama tersohor.
Jadi, hal tersohor tergantung dari adanya ciri-ciri yang ada pada kita, maka tidak merupakan tujuan dan kenyataan akhir sendiri. Yang harus diusahakan adalah ciri-ciri yang dikagumi itu, dan bukan agar kita menjadi tersohor. ***