JAKARTA, Arcus GPIB – KASUS-kasus pelecehan dan kekerasan seksual cukup tinggi di negeri ini. Catatan tahunan 2022 Komnas Perempuan menyebutkan, terjadi sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Tingginya angka kekerasan seksual tersebut Dewan Gerakan Pemuda GPIB menyelenggarakan talkshow membahas isu kekerasan seksual dalam 3 perspektif berbeda menghadirkan narasumber Pendeta GPIB Sylvana Maria Apituley, M.Th, dari perumus draft RUU TPKS Sri Nurherwati, SH dan dari P2PTP2A DKI Noridha Weningsari.
Acara talkshow yang diselenggarakan di GPIB Paulus Jakarta, Sabtu 14 Mei 2022 dibuka Fungsionaris Majelis Sinode, Pnt. Ivan G. Lantu, SH., M.Kn dan Ketua Dewan Gerakan Pemuda, Rolando Loupatty terungkap bahwa di gereja pun banyak kasus-kasus kekerasan seksual, bahkan ada anak teruna mengalami itu.
Apa iya di gereja ada kekerasan? “Ouch…banyak, banyak banget, dari kekerasan seksual sampai kekerasan struktural ada, kekerasan sistemik,” ungkap Pdt. Sylvana Maria Apituley seraya mengatakan, “Kita harus membayar PR kita ini, membayar PR peradaban ini.”
Caranya, dengan memeriksa tafsir kitab suci, periksa jangan sampai tafsir itu merendahkan seseorang karena dia perempuan, merendahkan seseorang karena dia miskin, merendahkan orang karena beda ras, beda warna kulit dsb.
“Jangan-jangan ada problem itu, dan itu harus diperiksa tafsirnya lalu cek tentang ajaran gereja tentang manusia itu harus betul-betul dijabarkan dengan sangat baik, agar pemahaman ke jemaat mengenai siapa manusia itu pemahaman yang baik,” tutur
Karena itu, Pdt. Sylvana meminta semua ruang pembinaan harus mengikutkan kampanye UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Seringkali sadar atau tidak, ada tindakan yang sebenarnya rentan terhadap kekerasan seksual kita tidak sadari. Jadi, katanya, edukasi perlu terus menerus.
GPIB salah satu gereja yang berhutang. Berhutang pada korban kekerasan seksual. Pasalnya, gereja-gereja di dunia terus menangani kekerasan seksual melalui kampanye global sejak tahun 2000.
Gereja sedunia telah mendeklarasikan dekade gereja-gereja mengatasi kekerasan, kekerasan dalam keluarga, kekerasan dalam lingkungan, dan ketidakadilan di macam-macam ruang
Jadi, katanya, GPIB sudah harus melakukan kampanye, yang saya tahu sebenarnya dari tahun 1999 kelompok ibu-ibu sudah pernah bikin kampanye, Dewan PKP waktu itu, kampanye 16 hari mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Gunanya kampanye itu untuk mengedukasi secara massal. Jadi mulai sekrang gereja-gereja harus mendedikasikan resources, mendedikasikan apa yang gereja miliki untuk melakukan perubahan cara berpikir supaya kita mempraktikkan budaya baru, budaya bebas kekerasan,” ungkap Pdt. Sylvana.
Menurutnya, ini PR lama yang terus berulang-ulang didorong oleh teman-teman perempuan dan oleh pendeta-pendeta perempuan maupun Dewan PKP adalah membangun sistem yang pelayanan terpadu berbasis komunitas untuk melayani korban. Gereja-gereja lain sudah punya antara lain GMIT, GPK, GBKP Karo, GKPS Simalungun, Gereja Sumba. GPIB belum punya.
“Saya sudah ngomong ini dari 15 tahun lalu, sudah capek, teman-teman sudah capak lihat aku, tapi sampai sekarang nggak jadi-jadi juga. Apa ini masalahnya, apa? Jadi curhat deh,” tuturnya.
Untuk itu, mantan Staf Khusus Menteri di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini, pelayanan terpadu berbasis komunitas untuk melayani korban harus segera dibuat, banyak warga jemaat yang mengalami kekerasan tapi tidak tahu harus berbuat apa.
“Kita harus bikin, segara, secepatnya. Warga jemaat kita banyak yang mengalami dan mereka tidak tahu harus mencari bantuan dimana? Gereja harus bersikap, mudah-mudahan setelah ini GP yang menginisiasi, kutemani nanti,” tandasnya.
Perumus draft RUU TPKS Sri Nurherwati dalam kesempatan itu mengatakan, kasus-kasus kekerasan seksual dengan adanya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) semua kasus-kasus kekerasan seksual akan menjadi kasus pidana bukan lagi diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan.
“Diselesaikan dengan damai dulu, tidak ada, langsung pidana,” katanya bahwa dengan adanya UU TPKS semua dibuka dari soal perkosaan, pencabulan, pelecehan, dan pemaksaan perkawinan. Kalau dulu, katanya, soal seksualitas ada dibawa meja ditutupi, tabu untuk dibahas, begitu dengan adanya UU TPKS terbuka.
Noridha Weningsari dari P2PTP2A DKI mengatakan, kekerasan seksual, adalah segala bentuk aktivitas seksual yang tidak diinginkan, dimana salah satu pihak memaksa, membujuk dan merayu, atau memanfaatkan ketidakmampuan seseorang untuk memberikan persetujuan agar orang itu mau melakukan atau terlibat dalam aktivitas seksual.
Maraknya kekerasan seksualitas, kata Noridha, juga dikarenakan budaya-budaya yang menghalalkan kekerasan seksual.
“Budaya dibanyak negara masih berkembang budaya yang melegitimasi pelecehan atau kekerasan, dengan mempersalahkan korban, misalnya dengan cara berpakaiannya, karena cara bicaranya, karena cara dia berjalan,” tuturnya.
Menurut Noridha, ada budaya-budaya dimana perempuan dijadikan objek pemenuhan seksual, dan dipersalahkan atas segala bentuk tindakan kekerasan seksual itu masih banyak terjadi.
Budaya-budaya ini menguat yang akhirnya mendorong orang-orang melakukan pelecehan seksualitas. Belum lagi faktor-faktor pendukungnya, misalnya, minimnya pendidikan seksual, kurangnya pendidikan bagaimana seharusnya berperilaku setara dengan orang lain begaimana memposisikan bahwa laki-laki dan perempuan punya hak untuk mengakses hal-hal kaitannya dengan seksualitas punya hak untuk menolak. /fsp