Oleh: Troitje Patricia Aprilia Sapakoly, Pendeta GPIB
SETIAP hal baru pasti mengundang begitu banyak tanya dan ragam pandangan termasuk metaverse. Pada teori difusi inovasi yang dipaparkan Everett M. Rogers, 1961 tentang bagaimana ide-ide baru diadopsi. Rogers menyampaikan beberapa kategori pengadopsi yaitu:
- Innovators (2,5%), terdiri dari orang-orang yang berani mengambil risiko, gemar berpetualang, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.
- Early Adopters (13,5 %), mereka adalah orang yang dihormati dan memiliki akses tinggi.
- Early Majority (34%), mereka adalah orang-orang yang penuh pertimbangan dan mengadopsi sebuah inovasi setelah sudah ada bukti.
- Late Majority (34%), terdiri dari orang-orang yang karena pertimbangan ekonomi dan tekanan sosial menjadi sangat hati-hati dan merupakan pengadopsi terakhir dalam menerima inovasi.
- Laggards (16%), mereka adalah orang-orang kolot yang memiliki wawasan dan sumber daya terbatas sehingga menolak inovasi.
Dari teori Rogers ini, kita bisa mengukur posisi kita dan orang lain pada saat sebuah inovasi hadir di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga halnya dengan kehadiran metaverse dan tanggapan gereja atasnya. Bagaimana respons kita sebagai gereja dan di mana posisi kita terhadap kehadiran metaverse serta realitas bahwa Virtual Reality Church (VR Church) turut hadir di metaverse?
Pandangan Teologis VR Churh
Perjalanan gereja dalam sejarah misinya tidak bisa dipisahkan dari media yang merupakan sarana komunikasi. Gereja dari masa ke masa secara aktif memanfaatkan berbagai jenis media. Ketika mesin cetak ditemukan, reformasi agama semakin cepat terjadi.
Berkat penemuan tersebut, Alkitab dan buku-buku teologi lebih mudah diperbanyak dan tersebar. Kehadiran media massa seperti radio, film dan televisi juga menjadi media yang efektif untuk proses penginjilan.
Internet dari masa penemuan hingga pada saat pandemi covid-19, membantu persekutuan tetap berjalan. Walau di awal terjadi kebingungan dan ketidaktahuan memanfaatkan teknologi digital, namun kehadirannya membantu seluruh proses bergereja terlaksana.
Setelah pandemi covid-19, gereja seolah dipaksa untuk melakukan pelayanan digital. Pelayanan digital yang dilakukan sebagai respons atas suatu kondisi juga merupakan bukti bahwa gereja terbuka dengan pengetahuan dan teknologi sekaligus teknologi media digital dinilai mampu mendukung pelaksanaan pelayanan kepada seluruh warga jemaat.
Ada beberapa pertanyaan besar ketika gereja termasuk GPIB menggunakan media digital sebagai bagian penting dari pelayanan sampai saat ini seperti apakah gereja sungguh-sungguh memahami perkembangan yang ada dan relasi yang dijangkau?
Ataukah pelayanan digital yang dipahami hanyalah sampai pada penggunaan peralatan yang mumpuni sehingga ibadah on-line yang dilakukan hanya sebatas “memindahkan” ibadah ritual on-site ke platform digital yang digunakan?
Apakah budaya digital sungguh-sungguh meresap dalam kehidupan bergereja hingga proses menemukan data yang berkaitan dengan engagement pelaku ibadah on-line sungguh-sungguh diperhatikan?
Memang, menyerap perhatian jemaat untuk “betah” mengikuti ibadah on-line tidaklah semudah ibadah on-site. Jika on-site, warga jemaat akan sungkan keluar di tengah-tengah ibadah apabila ibadah tersebut tidak menjawab kebutuhan mereka. Mereka sungkan karena takut menjadi pusat perhatian atau mungkin mereka merasa sudah “terlanjur” datang sehingga dengan “terpaksa” mengikuti ibadah sampai akhir.
Berbeda dengan on-line, hanya dengan sekali klik, mereka bisa meninggalkan ruang ibadah. Dengan demikian, gereja perlu memerhatikan konten ibadah on-line berdasarkan data-data yang diperoleh.
Gereja perlu memahami bahwa pelayanan digital bukan saja perihal alat-alat canggih yang digunakan dan sumber daya insani yang mumpuni atau kreatif memberikan sentuhan-sentuhan menarik pada kemasan ibadah on-line melainkan juga konten ibadah dan kegiatan pelayanan yang bisa merangkul warga jemaat serta meningkatkan relasi dalam komunitas/jemaat.
Keith Anderson dan Elizabeth Drescher berpandangan bahwa pelayanan secara digital tidak hanya tentang menggunakan platform media sosial digital untuk pelayanan, namun tentang bagaimana memberikan kehadiran yang bermakna dan konsisten di ruang pertemuan.
Relasi menjadi catatan penting untuk diperhatikan ketika gereja sungguh-sungguh ingin hadir dalam pelayanannya. Bagi Elizabeth Drescher, teknologi memang menjadi penunjang komunikasi antar manusia tetapi perlu ada penyesuaian untuk terlibat dalam praktik komunikasi secara tepat ketika menggunakan media digital.
Dari pemahaman inilah maka gereja, secara khusus GPIB, perlu melihat kembali dengan seksama perihal penggunaan platform digital yang dilakukan sampai saat ini. Gereja perlu melihat apakah pelayanan digital yang dilakukan sudah cukup menjalin relasi yang karib dengan warga jemaat sehingga konten yang ditampilkan sungguh-sungguh menjawab kebutuhan warga jemaat?
Bukanlah sebuah hal yang mudah bagi gereja untuk menjalankan misinya di tengah arus digitalisasi yang kian deras. Apalagi ketika metaverse menjadi booming dan beberapa gereja telah hadir di sana. Bagaimana sikap dan pandangan teologis gereja terhadap realitas yang ada saat ini?
Gereja & Metaverse
Beberapa pandangan buruk yang saya catat ketika mendengarkan penjelasan tentang metaverse, yakni:
- Perbudakan model baru di zaman baru,
- Kapitalisme yang akan semakin meningkat karena kehadiran metaverse memang sangat menguntungkan bagi pemilik modal,
- Beberapa menyatakan dengan gamblang dan sangat cepat menyimpulkan bahwa metaverse adalah pekerjaan iblis,
- Kehadiran metaverse akan membuat manusia semakin tidak peduli,
- Gereja di dunia nyata tidak akan ada lagi karena akan berganti dengan gereja maya,
- Pelecehan seksual dan berbagai tindak criminal sudah dan akan terjadi di metaverse,
- Kita tidak tahu manusia atau apa yang ada di balik avatar pengguna metaverse, dlsb.
Sebagaimana kategori pengadopsi menurut Rogers, kita dapat menganalisis pengadopsi model apa dengan cara mereka menampilkan bahaya-bahaya metaverse ini. Saya tidak bermaksud meniadakan realitas tersebut akan tetapi seringkali kita lupa bahwa setiap hal pasti mempunyai sisi positif dan negatifnya.
Jika kita melihat sejarahnya, gereja dan kekristenan sejak awal sangat antusias terhadap media. Oleh karena itu, kehadiran metaverse pun perlu disikapi dengan antusias sebagai sebuah peluang menjalankan misi yang tentunya didahului dengan analisis mendalam terhadapnya.
Leonard Chrysostomos Epafras dalam penjelasannya di webinar tentang gereja metaverse memberikan kesimpulan bahwa metaverse adalah tantangan dan peluang baru media-based Christianity dan gereja perlu menata eklesiologi ke eklesiologi melalui teologi inkarnasi/interkarnasi dan penatalayanan berbasis digital.
Epafras pun menjelaskan dengan tegas tentang virtualitas yang tidak sama dengan khayalan. Kekristenan secara khusus dan agama secara umum sudah sangat erat kaitannya dengan virtualitas. Kita berdoa dan berkomunikasi dengan Allah secara virtual, kita membaca buku atau Alkitab dan membayangkan konteks dari teks yang kita baca juga merupakan virtualitas, ibadah dan segala bentuk pengenangan liturgis pun adalah pengalaman virtualitas.
Dengan demikian, media menjadi penunjang virtualitas itu sendiri termasuk metaverse. Gereja perlu memahami bahwa gagasan virtualitas yang diperkenalkan oleh metaverse bukanlah hal yang baru. Hanya saja, teknologi dan caranya yang berbeda.
Sebelum pandemi covid-19, orang seringkali bertanya tentang apakah mungkin menemukan Tuhan di dunia digital? Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian berkembang menjadi siapa Tuhan di metaverse?
Persoalan menemukan Tuhan di dunia digital menjadi bagian yang unik dalam pertumbuhan iman yang pada akhirnya menyatakan bahwa Tuhan tidak bisa dibatasi dalam ruang tertentu, Dia Maha Hadir.
Lantas mengapa sulit ketika memahami kehadiran Tuhan di metaverse? Saya berpendapat bahwa hal ini terjadi karena metaverse dianggap sebagai merek dagang dan bukan capaian teknologi dalam perkembangannya.
Orang terpaku pada bahaya-bahayanya sehingga kurang melihat peluang terhadap pelayanan yang juga bisa dilakukan di sana bahkan melupakan realitas bahwa besar kemungkinan sudah ada warga jemaat yang hadir di metaverse.
Kajian tentang ibadah dari segi spiritualitas merupakan satu faktor untuk dikaji lebih mendalam tetapi kita tidak perlu anti terhadap gereja metaverse itu sendiri.
Untuk GPIB, perlu ada pemahaman-pemahaman mendasar tentang pelayanan digital terlebih dahulu sambil menunggu infrastruktur yang menunjang bagi kehadiran di metaverse. Akan tetapi, kehadiran metaverse dan gereja metaverse perlu ditanggapi secara mendalam oleh GPIB yang mendasari identitasnya berdasarkan Lukas 13:29 dan memiliki eklesiologi perjamuan dengan sasaran keselamatan untuk semua bangsa.
Dengan eklesiologi seperti itu dan tema tahunan 2022-2023, GPIB bisa menghayati secara mendalam tentang pelayanan di dunia digital termasuk metaverse.
Simpulan Awal
Kehadiran dan pencapaian teknologi yang menggabungkan dunia virtual dengan keadaan riil seseorang tentu bisa berdampak baik dan juga buruk.
Sebagai gereja, GPIB perlu menata diri untuk hadir dalam berbagai platform digital dan itu bisa saja metaverse. Mungkin tidak dalam bentuk ibadah, bisa dengan bentuk edukasi atau mungkin pengenalan sejarah kepada generasi muda karena kekayaan gedung-gedung gereja GPIB yang banyak menjadi bagian dari cagar budaya.
Tentunya semua dimulai dengan pemahaman mendasar tentang pelayanan digital agar tak hanya sekadar FOMO (fear of missing out) atau sekadar ikut-ikutan tanpa punya basis misi yang jelas.
Kehadiran gereja metaverse juga merupakan bagian dari upaya gereja untuk hadir menjalankan misinya dengan tetap memiliki rambu-rambu yang tegas agar relasi komunitas yang adalah murid Kristus bisa terus terjalin dengan baik. ***
REFERENSI:
C, Helland. Online religion/religion online and virtual Communities. In: Hadden JK and Cowan DE (eds) Religion on the Internet: Research Prospects and Promises, London: JAI Press/Elsevier Science, 2000.
Küng, Hans. The Church, New York: Sheed and Ward, 1976.
Anderson, Keith. The Digital Cathedral: Networked Ministry in a Wireless World, New York: Morehouse Publishing, 2015.
Drescher, Elizabeth. Tweet If You Love Jesus: Practicing Church in Digital Reformation, New York: Morehouse Publishing, 2011.
Epafras, Leonard Chrysostomos. https://doi.org/10.5281/zenodo.62405Keith Anderson, The Digital Cathedral: Networked Ministry in a Wireless World, (New York: Morehouse Publishing, 2015), hlm. 6.
Elizabeth Drescher, Tweet If You Love Jesus: Practicing Church in Digital Reformation, (New York:
Morehouse Publishing, 2011), hlm. 74
Leonard Chrysostomos Epafras, https://doi.org/10.5281/zenodo.6240596