BANDUNG, Arcus GPIB – Gereja–gereja di Indonesia sudah baik dalam melakukan pelayanan sebagaimana kehadirannya dalam tatanan berbangsa dan bernegara untuk menyampaikan Kabar Baik, propetik. Itu juga ada pada Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), demokratis dalam menjalankan roda pelayanannya.
Hanya saja, kata seorang Pengamat Politik, sikap kritis gereja belum tampak sebagai gereja yang seharusnya bisa menyampaikan kebenaran dalam hal melakukan kritik terhadap pemerintah kaitannya terhadap minority complex dan trauma-trauma yang dialami gereja.
“Gereja cenderung mengalah,” kata Pengamat Politik, Jeirry Sumampouw, S.Th kepada Frans S. Pong, Redaktur Arcus GPIB disela-sela acara Semiloka Gereja dan Demokrasi di Bandung, Selasa (29/10/2024) yang juga menghadirkan narasumber Rocky Gerung yang mengajak gereja mengambil sikap oposisi dalam fungsinya menyampaikan Kabar Baik.
Lanjut kata Jeirry, sosok GPIB sebagai gereja warisan negara membuat sulit untuk bisa kritis.
“Kita (GPIB) gereja Negara. Kelihatannya kita masih susah keluar dari warisan sebagai gereja negara. Akibatnya menjadi tidak kritis,” tandas Jeirry yang juga Ketua Komite Pemilih Indonesia.
Ini masalah GPIB bagaimana harus keluar dari persoalan itu. Itu “PR” yang harus kita pikirkan kedepan. Tapi kita punya modal, karena nilai kekristenan dan nilai demokrasi itu sejalan, dan tidak ada yang bertentangan.
Dalam konteks kebangsaan, kata Jeirry, sejarah negara ini punya problem dengan minority complex. Ada trauma-trauma sebagai kelompok minoritas yang membuat gereja tidak kritis dan seringkali kompromi dengan sesuatu yang tidak demokratis yang tidak sesuai dengan prinsip dan nilai demokrasi.
“Kita kompromi, itu mengalah dan karakteristik mengalah ini lazim terjadi pada kasus yang dialami gereja juga dalam konteks pertarungan politik yang terjadi di ruang publik,” tandasnya seraya berharap gereja punya peran mendorong pemirintah semakin peduli terhadap masyarakat yang tersisihkan.
Tugas gereja mendorong agar negara memberi ruang yang lebih bebas kepada semua masyarakat dan semua kelompok dan memberi perlindungan terhadap kelompok yang selama ini tersisihkan baik oleh kelompok lain atau juga oleh negara dalam hal-hal tertentu.
Negara, kata Jeirry, seringkali tidak melaksanakan kewajiban secara penuh dalam konteks memberi perlindungan kepada warganya malah berlindung kepada soal-soal yang sifatnya teknis, misalnya, prosedur-prosedur administratif yang belum terlaksana, karena itu upaya untuk memberi perlindungan sedikit terhambat.
Jadi, gereja di ranah demokrasi menjadi penting untuk membangun kepedulian gereja berada dalam demokrasi itu sendiri. Diharapkan gereja bisa memberi makna, bisa memberi pengaruh terhadap perbaikan demokrasi yang tentunya dengan nilai-nilai dan prinsip kehidupan bergereja dan bermasyarakat.
Nilai-nilai demokrasi itu hidup di gereja. Bahkan dalam sejarah demokrasi gereja mejadi pelopor. Ada tulisan Max Weber, Etika Protestanisme, itu mendorong munculnya demokrasi modern. Itu dibuat berdasarkan nilai-nilai kekristenan. Gereja punya modal itu, karena demokrasi dengan gereja itu peretalian sejak awal.
Seringkali negara melempar tanggung jawab, misalnya, melindugi warga negara yang mengalami diskriminasi, penindasan dll. Ini yang secara substansial harus diperbaiki.
Demokrasi di internal gereja dibanding dengan diluaran, gereja lebih baik meskipun gereja bukan lembaga publik. Prosedur dan prinsip nilai demokrasi di gereja lebih hidup dan dijadikan sebagai nilai dan prinsip dalam menjalankan organisasi dan kepemimpinan gereja.
Kalau dipetakan dalam konteks sekarang, lembaga-lembaga agama seperti gereja itu juga penting, karena iklim demokrasi sekarang. Apalagi dengan adanya populis politik yang membuat kelompok dan anggota masyarakat tidak mampu melakukan kritik terhadap pemimpin Negara ataupun Pemimpin yang ada di daerah.
Ini problem, kadang-kadang pemimpin-pemimpin tidak konsisten dengan nilai dan prinsip demokrasi, tapi karena dia dapat prioritas tinggi dan disukai oleh masyarakat menjadi kendala untuk dikritik.
Kepercayaan tinggi kepada satu orang pemimpin seringkali mengaburkan pikiran masyarakat bahwa apa yang telah dilakukan pemimpin sudah bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai demokrasi.
Praktik-praktik yang melawan demokrasi, atau kejahatan demokrasi atau praktik politik yang menghalalkan segala cara itu tidak begitu kelihatan. Tapi dalam konteks kebangsaan itu marak bahkan dilakukan secara sengaja.
Memang, kata Jeirry, populis politik itu sangat kuat, disisi lain ada kartel politik. Lembaga-lembaga politik berkolaborasi dengan korporasi yang punya kekuatan modal dan mengusai semua lini kehidupan kebangsaan, khusunya sumber-sumber ekonomi.
“Ini sebuah fenomena yang saya kira memprihatinkan, kelihatannya tidak banyak kelompok masyarakat yang bersuara terhadap fenomena ini,” ungkap Jeirry. ***