JAKARTA, Arcus GPIB – Metaverse dari aspek teologi menjadi pembicaraan aktual dalam sebuah perhelatan akbar yang digelar Universitas Pakuan (Unpak) Bogor baru-baru ini. Peserta yang tergabung dalam webinar tersebut hampir mencapai 500 orang dari berbagai latar belakang ilmu dari seluruh Indonesia.
Menariknya, webinar yang dimoderatori Dr. Griet Helena Laihad, M.Pd ini bisa menghadirkan sosok fenomenal Prof. Richardus Eko Indrajid, M.Sc., MBA., MA.,M.Phil.,M.Si. Lelaki yang akrab disapa Prof. Eko ini mengulik aspek teologis menyangkut metaverse kaitannya dengan model penataan gerejawi.
Menurutnya, tempat-tempat pertemuan seperti rumah ibadah dan lain-lain tetap menjadi tempat favorit untuk dikunjungi bukan dengan cara-cara virtual, itu karena orang merasa lebih nyaman ketika berdoa di rumah ibadah.
“Orang itu kalau berdoa bisa dari mana saja. Tapi rasanya berbeda kalau berdoa dari dalam rumah ibadah, kita membaca buku bisa dari mana saja, tapi beda rasanya kalau baca buku di dalam perpustakaan,” tutur alumnus Harvard University yang kini menekuni metaverse dari aspek teologis yang kini membangun sekolah virtual bersama Kak Seto.
Menjawab pertanyaan Frans S. Pong, Pelaksana Redaksi arcusgpib.com, Prof. Eko mengatakan, metaverse dalam aspek teologis sama saja. Teologis itu satuannya adalah mencoba untuk berkomunikasi secara vertikal dengan sang Pencipta. Itu macam-macam cara berhubungannya, tiap pribadi memiliki cara yang berbeda-beda.
Ia mencontohkan, orang dulu dan orang sekarang. Kalau orang dulu bertemu dengan rohaniawan biksu, pendeta atau kyai itu langsung hormat seolah-olah ada kehadiran Tuhan. Tapi anak-anak sekarang tidak merasakan semua itu, rohaniawan sudah dianggap teman saja. Tetapi, katanya, ada orang yang kalau dimplementasikan kedalam sebuah tayangan film baru bisa merasakan kehadiran sang Ilahi.
“Dinasihati orangtua tidak bisa, dinasihati rohaniawan tidak bisa, tapi nonton film yang pesan moralnya bagus, nangis dia. Hatinya tersentuh, dia ingat kembali kepada sang Pancipta. Metaverse juga menyediakan itu yang mendekatkan kita kepada yang diatas,” ucap Prof. Eko. Makanya orang-orang mulai membuat metaverse dengan menghadirkan situs-situs ziarah.
“Hanya dengan memakai kacamata bisa berlinang air mata. Jadi secara teologis menghubungkan kita dengan yang Diatas,” katanya sembari menyebutkan bahwa sang Ilahi itu ada dimana-mana, berarti ada di metaverse juga.
Kata metaverse, katanya, sudah lama ada sejak sudah 20 tahun lalu. Hanya baru sekarang ramai dibicarakan. Ia mencontohkan permainan anak-anak seperti Minecraft, Roblox dan beberapa lainnya merupakan metaverse saat ini. Sebanyak 50 persen anak-anak di Amerika melakukan permainan tersebut. Dan untuk anak-anak muda atau ibu-ibu muda verse yang dimainkan adalah Mobile Agent.
Cuma bedanya adalah yang namanya Roblox, Minecraft, Freefire, Mobileagent, SIMS, itu masih menggunakan Notebook, Komputer, handphone. Jadi belum terasa seperti nyata seolah-olah berada didalamnya walaupun sudah membuat anak-anak ketagihan.
“Metaverse adalah dunianya Mark Zuckerberg melalui perusahaannya, Meta. Tetapi kalau menggunakan makna luas Metaverse artinya verse-verse lain yang bisa dibuat siapa saja. Jadi kita bisa bikin Pakuanverse, Nusantaraverse, Garudaverse.”
Mark Zuckerberg yang menciptakan jejaring sosial facebook yang memvisikan kedepan setelah internet, media sosial Meta yang akan jadi tren. Ia pun membranding semua perusahaannya seperti facebook, Instagram, WhatsApp dengan nama Meta. “Jadi Metaverse ini bukan sesuatu yang baru. Dunia alternatif membuat orang sudah ketagihan didalamnya.”
Metaverse ini yang ingin dibangun yang nantinya tidak lagi memakai handphone tetapi pakai VR dan AR Headset alat yang ditaruh di mata bekerja berdasarkan teknologi augmented reality dan virtual reality. Itulah dimaksud dengan metaverse yang sering kita bicarakan.
Jadi metaverse itu adalah virtual reality dan augmented reality yang diperkaya, realita yang ditambahkan. Contohnya, dengan mata biasa bisa melihat ada bunga mawar didepan, tapi kalau dilihat dengan kacamata khusus, bisa melihat penambahan informasi yang menyertai bunga mawar tersebut. Jadi realitasnya ada dengan penambahan informasi digital.
Untuk pendidikan manfaat metaverse seperti apa? Prof. Eko mengatakan, metaverse hadir bukan menggantikan pola Pendidikan yang sudah ada sekarang. Metaverse tujuannya adalah untuk memperkaya. Menambahkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam lembaga Pendidikan, memberikan alternatif baru terhadap hal-hal yang tidak bisa dilakukan untuk proses belajar mengajar.
“Jadi bukan utuk menggantikan tetapi untuk memperkaya. Itu juga disampaikan oleh pembuatnya termasuk Mark Zuckerberg,” tandas Prof. Eko.
Dalam konteks Pendidikan, mengacu pada teori-teori dalam teknologi pendidikan bahwa Metaverse ini ada untuk membantu memfasiitasi proses pembelajaran agar improving performance atau meningkatkan kinerja.
Ada banyak hal yang ditawarkan Metaverse bagi dunia pendidikan. Dengan konsep metaverse diharapkan alam semesta kembali menjadi sekolah yang holistik dan kontekstual. Contohnya dalam belajar tanam-tanaman, dengan adanya metaverse belajar tanaman, belajar planet-planet tidak perlu harus di sekolah.
“Saya lihat tanah kososng, tapi kalau saya lihat dari aplikasi metaverse, disitu akan kelihatan tanah itu jenis apa, bisa ditanami tanaman apa, ada informasi dan ada ceritanya. Belajar bisa dimana saja. Jadi belajar tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Itu secara paedagogi manfaat metaverse dalam dunia pendidikan.” /fsp