ArcusGPIB.com – Indonesia yang majemuk ini membutuhkan praktik keagamaan yang cenderung moderat. Karena itu konsep moderasi beragama harus terus dibangun. Melalui konsep moderasi beragama ini diharapkan ada titik temu antara satu dengan yang lain.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Bimas Kristen, Prof. Dr. Thomas Pentury M.Si kepada Frans S. Pong dari arcusgpib.com saat bincang-bincang dengannya di kantornya belum lama ini.
“Kalau kita kemudian menganggap bahwa kalau tidak mempraktikkan posisi yang moderat kita cenderung ekstrim. Itu sebetulnya sama dengan kita mengklaim kebenaran menurut kita saja. Padahal, kebenaran itu mutlak pada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi yang kita yakini dalam Yesus Kristus,” ungkap Thomas Pentury.
Tapi, katanya, dalam realitas kehidupan sosial kemasyarakatan Indonesia ada lagi agama-agama lain yang juga mengklaim kebenaran menurut mereka.
“Makanya kalau saya sering menyatakan kebenaran itu dia mutlak dalam posisi yang eksklusif. Artinya ketertutupan kita, kita anggap mutlak. Tapi kemudian ketika keluar berelasi dengan yang lain tidak bisa bilang disana tidak benar.”
Kalau itu dilakukan, kata Thomas, itu artinya tidak menghargai kemajemukan. Meyakini kebenaran dalam perspektif eksklusif itu benar,” kata Thomas. Kalau doktrin untuk mencari sisi-sisi yang sama kalau dalam dialog keagamaan itu boleh saja.
“Tapi kalau untuk mencari perbedaan kita akan berada pada posisi divergensi. Harusnya kita menuju pada posisi konvergensi disatu titik. Artinya bahwa memang kita harus ada dalam persekutuan koinonia untuk melayani orang lain tapi juga menyatakan Kristus yang disalib itu. Itu konteksnya,” ucap Thomas.
“Nah bagaimana GPIB dalam tanggung jawab bergerejanya,” tanya Thomas. Menurutnya, GPIB adalah salah satu gereja yang sinodenya relatif tua di Indonesia harus bisa mengedepankan konsep keesaan itu. Keesaan secara internal dalam perspektif sinodal dalam praktik-praktik itu harus bisa nyata dalam kehidupan berjemaat di Indonesia.
Lanjut disampaikan, GPIB ini salah satu sinode yang relaltif memiliki jemaat yang banyak dan ia terdistribusi hampir diseluruh Indonesia. Artinya posisi GPIB memang strategis dalam tanggung jawab bergereja.
Tantangan-tantangan lain memang ada karena denominasi gereja lain tapi harus dipandang sebagai mitra untuk secara bersama bergereja menyatakan kemuliaan Tuhan Yesus Kristus, itu inti bergereja.
“Dalam tanggung jawab itu saya kira menjelang Persidangan Sinode GPIB maka tentu berharap akan lahir pemimpin yang punya perspektif. Perpektif kalau saya sebut dalam Kementerian Agama itu perspektif moderat,” ujar Thomas.
Jadi, katanya, pemimpin gereja harus membawa gereja pada posisi yang ada di tengah dan tidak akan mempraktikkan kehidupan bergereja yang ekstrim, baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Dia harus mempraktikkan kehidupan bergereja yang moderat. “Kenapa?” tanya Thomas: “Karena kemajemukan itu.”
Juga disampaikan bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan beragama. Tapi bisa mencampuri untuk urusan relasi antar agama.
“Negara harus ada di posisi in between, diantara atau ditengah. Dia tidak boleh mencampuri doktrin keagamaan tapi dia harus campur antara relasi agama. Kalau ada konflik beragama negara harus ikut campur, kalau tidak kita bisa kacau,” imbuhnya. /fsp