PERHELATAN akbar Sidang Raya PGI 2024 di Tana Toraja usai. Banyak cerita menarik mengapa GPIB gagal menempatkan personelnya di ranah puncak organisasi besar itu?
Padahal, dari perspektif banyak organisasi gereja, GPIB sangat disegani dan punya peluang besar untuk mendudukkan orangnya di PGI. Tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. GPIB gagal membawa personelnya di PGI dan tak satupun orang-orang GPIB disitu.
Mengapa GPIB gagal menempatkan personelnya di PGI? Ini tanggapan Pendeta Richard Agung Sutjahjono, KMJ GPIB “Bahtera Kasih” Bekasi yang diwawancarai John Paulus, Personel Yayasan Diakonia GPIB disela-sela Retreat PELKAT PKB GPIB Jemaat ‘BAHTERA KASIH‘ Bekasi yang digelar di Villa Macarena, Megamendung-Bogor, 30 November – 1 Desember 2024. Berikut petikan wawancaranya.
Pendapat Pak Pendeta GPIB sekarang ini!
Kita itu harus cerdas memisahkan pengertian substansial dan esensial, kita harus bedakan pengertian ini, kita tidak bisa menyamaratakan kedua istilah ini, substansial dalam pengertian lazimnya adalah kelembagaan, jadi kita mau lihat bahwa gereja itu lembaga secara substansial dan tentu efek dari lembaga itu otomatis dia memiliki tager talak, tata laksana Tata Gereja dan kalau kita menggunakan istilah ini di Ilmu Hukum dan Ilmu Politik ini adalah Undang-undang atau Perundang-undangan.
Anda melihat Tata Gereja sudah berjalan?
Kekhususan kita di GPIB tidak pernah absen untuk mengamandemen sebab setiap terjadi perubahan amandemen itu diikuti oleh perubahan nilai, Changing Value dari masyarakat, bangsa kita, salah satu contohnya dimana tata gereja GPIB kurang bicara Covid-19, tapi ketika fenomena itu nampak, maka efeknya terhadap gereja mengalami perubahan dalam hal amandemen.
Jadi Tata Gereja itu mengikuti zaman, berpolitik, berbangsa dan bernegara!
Implementasinya kita terjebak dalam soal-soal disekitar itu dalam kubangan amandemen-amandemen, tetapi implementasi secara praktik dalam konteks terjun, apakah terjun secara sistematik massif atau bebas, itu justru kurang kental disitu, kurang dinampakkan.
Artinya kita merubah, kita mengamandemen tapi tidak dilaksanakan!
Kurang diimplementasikan, kurang diberlakukan.
Kurang diberlakukan dalam kehidupan berjemaat!
Dalam konteks menghadirkan gereja ditengah negara , masyarakat dan bangsa ini seperti itu. Jadi kita merasa masih berada dalam satu kubangan discuss disekitar logika dan kecerdasan kita untuk membangun tager yang diikuti oleh perkembangan zaman, namun secara implementasi praktinya belum kental nampak, belum terasakan dalam konteks ragam. Maaf, pada akhirnya apa? Akhir – akhir ini kita lihat ada ngak personalia, personal atau individu kita yang duduk di link PGI! Tidak ada – tidak ada! tapi kalau kita kembali ke Tager, kita kurang apa, kita punya kekayaan dan khasanah yang begitu luar biasa bicara tentang sosio-society tetapi secara implementasi kurang dirasakan.
Artinya kita banyak ber-teori!
Banyak berteori tetapi tidak nampak dalam praktiknya, kita hanya bicara tentang teks tetapi kita tidak menguasai konteks atau sebaliknya kita punya konteks tapi kita miskin teks. Saya bisa menafsirkan GPIB yang ada di 26 provinsi dari 38 provinsi yang ada di Indonesia, GPIB adalah gereja besar yang disegani, ditakuti oleh gereja-gereja kecil, gereja suku dan gereja yang datangnya dari Asia Tenggara, tapi ketakutan mereka akan semakin berani merangsek dalam GPIB karena mereka membaca bahwa GPIB itu rasakan dalam konteks-teks masih dipertanyakan, jadi implementasi secara riil dalam konteks sosio-society masih perlu dibangun, dikentalkan dan dirasakan.
Jadi kita cuma omon-omon!
Itu kalau guyonan, omon-omon doang, Inikan ada PSR-GPIB yang ke-22 di Makassar-2025, kalau saya masih dimungkinkan didalam sidang itu, saya tidak akan bertarung merebut kursi secara internal tetapi mau secara idealisme yang ada sekarang ini, bisa ngaknya saya merebut kursi kekuasaan secara gerejani di lembaga lain sehingga mewakili GPIB, sehingga GPIB bisa dirasakan oleh sosio-society.
Personel GPIB tidak satupun yang duduk disana!
Tidak ada, ini adalah merupkan sebuah efek Teologi Eropa, Barat, Belanda yang masih kental dengan eksklusivisme tertutup.
Anda kesal melihat GPIB tidak duduk disitu?
Saya kesal.
Tak satupun yang duduk disitu padahal kita juga orang-orang genius!
Kita itu dari ragam suku loh, orang mengatakan you Rich, you jangan pernah bermimpi untuk menjadi GPIB satu (1), karena menjadi GPIB satu (1) itu hanya orang Minahasa, orang Maluku. Perhatikan riwayat GPIB dari tahun 1948-2024 itu bergantian aja, orang kelakar seperti itu terhadap saya, tapi saya balas, ale jangan pernah bermimpi untuk menjadi RI satu (1) karena khusus orang Jawa.
Ini Guyonan!
Kita itu menerima import teologi dari barat, kalau Indonesia punya teologi tidak ada itu GMIM, GPM, GMIT, GPIB tetapi yang ada adalah Gereja Indonesia dengan wallpapernya bendera merah putih, ini yang dibilang sosio-society dia harus memberikan rasa kepada kita kalau GPIB disebut gereja misioner.
Pak Pendeta merasakan seperti itu!
Bukan tidak merasakan, saya bisa merasakan melalui GERMASA, PELKES, tetapi pertanyaan saya, problema saya, pergulatan batin saya kenapa sosio-society tidak merasakan GPIB! Apakah GPIB itu asin-manis tidak dirasakan oleh mereka!
Sosio – Society dalam Arti!
Keragaman Masyarakat.
Artinya mereka belum pernah terjadi seperti itu!
Sudah terjadi, tetapi tidak terasa sehingga akibatnya kita selalu kalah dalam pertarungan diluar karena kita tidak dirasa oleh orang lain, coba kalau orang lain merasa kita, kita akan mendapatkan suatu porsi, coba kemarin itu saya mengamati di Sidang Raya PGI!
Apakah kehadiran GPIB tidak diperhitungkan!
Kita hadir, tetapi tidak dirasakan, kita hadir dan kita diperhitungkan tetapi rasa kepada GPIB dari sosio-society masih kurang.
Apakah kita tidak satu suara !
Bisa, itu faktorisasi seperti begitu, kenapa! Karena masih ada primordialisme disitu.
Perwakilan GPIB ada 3 orang, tetapi tidak semua tertuju kepada mereka, bagaimana!
Tidak, jadi kita masih perlu membangun sebuah kesatuan dari keragaman itu.
Apakah cuma presbiterial sinodal dimulut aja, setelah itu konggregasional !
Itu analisis para teolog, para akademisi, kalau saya apapun bentuk sebutan pemerintahan gereja, gereja sudah saatnya bukan menjadi gereja yang dungu tetapi menjadi gereja yang bisa dirasakan oleh sosio-society yang ragam agama, ragam suku sehingga pada akhirnya orang Jawa bisa menjadi GPIB satu (1) lalu orang Ambon, Manado bisa jadi RI satu (1).
Istilahnya Ale Rasa Beta Rasa, tapi ini bukan sakit hati!
Tidak, ini bukan sakit hati tetapi ini adalah pendekatan fenomenal bahwa saya sebagai pendeta GPIB bertanggungjawab untuk membangun GPIB memiliki rasa dan ini dinamakan gereja yang inklusif.
Semua bisa terlaksana karena ada Dialog!
Seorang filosofi dari Eropa mengatakan kalau Ale tidak berdialog itu menandakan bahwa Ale mati.
Kalau tidak berdialog mati, jadi GPIB perlu Dialog!
Mesti Dialog
Dan dalam rangka menuju GPIB satu (1) di PSR-GPIB yang ke-22 di Makassar Tahun 2025 tidak memilih dari mana asalnya, semua punya kesempatan untuk duduk di GPIB satu (1) termasuk Pendeta Richard yang saya temani pagi hari ini untuk diskusi. ***