JAKARTA, Arcus GPIB – Perhelatan Sinodal yang digelar PMKI Departemen Pelkes GPIB punya daya tarik bagi peserta.
Yang pasti Workshop PMKI GPIB yang dibuka Ketua Dept. Pelkes Pendeta Stera Gerrits dan ditutup Pendeta Marthen Leiwakabessy bagai magnit bagi pesertanya karena meteri aktual yang disajikan masing-masing narasumber.
Acara yang digelar di Amaris Hotel Jakarta Barat pada 19 – 22 September 2024 itu menghadirkan narasumber kompetensi dibidangnya antara lain Mellysa Anastasya – Staf Pencegahan Rumah Faye, Jeanny Silvia Sari Sirait – Destrictive Fishing Watch, Pendeta Daniel Susanto dari Asosiasi Pastoral Indonesia, Soelthon Gussetya Nanggara Ketua Forest Watch Indonesia, Psikolog Nael Sumampouw, dan Arif Nur Alam Penggiat Demokrasi dan Anti Korupsi bahkan Uli Arta Siagian namun karena mendadak opname, Eksekutif Nasional WALHI itu tak dapat hadir.
Dalam hal kekerasan seksual yang dipaparkan Psikolog Diaken Nathanael Sumampouw mengatakan, penanganan kasus-kasus perlu pendampingan yang baik dan mekanisme penanganan.
Karenanya, kata pria yang akrab disapa Nael ini, Satgas atau Tim Pendamping harus menangani laporan kekerasan paling sedikit melalui mekanisme Penerimaan Laporan, Pemeriksaan, Penyusunan Kesimpulan dan Rekomendasi, Pemulihan, Pencegahan Keberulangan.
Ia juga berharap adanya Dukungan Psikologis Awal (DPA) ini diperlukan untuk mengurangi memberi rasa aman. DPA diperlukan untuk mengurangi ketidaknyamanan yang disebabkan karena reaksi pasca pengalaman stres traumatik
DPA merupakan respons pertama segera setelah terungkapnya suatu peristiwa yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif stres dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk.
DPA adalah respons suportif terhadap orang lain yang menderita dan membutuhkan dukungan; keterampilan dasar yang bersifat praktis.
Mengutip apa yang pernah disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim, Nael mengatakan tiga dosa besar Pendidikan berpengaruh pada perkembangan siswi, yakni Intoleransi, Perundungan, Kekerasan seksual.
Tiga hal ini sudah seharusnya tidak lagi terjadi di semua jenjang Pendidikan dan dialami oleh peserta didik, khususnya perempuan karena peserta didik perempuan umumnya lebih rentantrhadap tindak kekerasan.
Dalam kesempatan yang sama, Pendeta Em. Dr. Daniel Susanto Psych., M.Th mengatakan dalam melakukan pendampingan bisa melalui bermacam-macam bentuk dan cara.
Cara-cara itu antara lain percakapan pastoral yakni dengan tatap muka,melalui surat, tilpon, dsb. Juga bisa dengan cara konseling pastoral, perkunjungan pastoral, kelompok penopang (support group), retreat (misal: retret pasutri), dan pastoral sosial.
Narasumber Pendeta Sylvana Aputuley dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat.
Untuk itu, kata dia, harus memulai penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebaiknya melihat data-data yang ada. ”Harus memulai dari data,” kata Pendeta Sylvana.
Narasumber Mellysa Anastasya, Staf Pencegahan Rumah Faye dalam kesempatan itu menantang peserta workshop dengan pertanyaan: ”Apa yang bisa dilakukan gereja, sebagai PMKI, sebagai dan individu manusia?
Menurut dia, jangan jadi pelaku kekerasan. Lanjut disampaikan bahwa siapa saja bisa jadi pelaku dan semua orang bisa jadi korban.
Jadi, kata Mellysa, untuk memulai suatu gerakan atau penanganan adalah dengan memulainya.
”Mulai saja dulu, sesuai kapasitas, sambil jalan kita belajar. 1 hari bergerak, 1 orang terbantu,” tuturnya. /fsp