SURABAYA, Arcus GPIB – Pendirian Rumambi Institute dapat dikatakan akan berjalan mulus. Tiga tokoh yang berbicara tentang ketokohan Domini (DS) Wilhelm Johannis Rumambi sangat mengapresiasi manuver yang dilakukan Rumambi semasa hidupnya diranah politik maupun gerejawi.
Tiga tokoh itu Pendeta Prof. John Titaley, Pendeta Dr. John C. Simon dan sejarawan Benni E. Matindas angkat bicara di forum kajian pembentukan Rumambi Institute yang diselengarakan di GPIB Maranatha Surabaya 12 – 13 Mei 2023.
Tiga narasumber itu memaparkan secara transparan sosok negarawan dan rohaniawan Rumambi yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di zaman Bung Karno.

Kanan, Pdt. Prof. John Titaley menerima cinderamata dari Panitia Pelaksana Seminar.
Menurut John Titaley, tidak banyak tokoh Kristen yang fenomenal di Indonesia seperti Pendeta W. J. Rumambi (WJR) dalam sejarah bangsa Indonesia yang baru berusia 78 tahun. Fenomenal karena hidup dan karya layannya sangat unik.
Sebagai seorang pendeta pelayan Firman dan Sakramen, WJR melakukannya tidak saja sebatas kegiatan pelayanan Gereja yang konvensional. Tuhan memimpin hidupnya sedemikian rupa sehingga pelayanannya juga meliputi kenyataan politik, sesuatu yang sangat peka dalam kehidupan bergereja.
Peka karena politik seringkali dinilai sebagai sesuatu yang kotor, penuh dengan cara yang dinilai tidak pantas dilakukan seorang pengikut Kristus, yang dipahami memisahkan agama dari politik dalam pelayananNya.
Yang terjadi dengan kehidupan dan pelayanan WJR adalah justru sebaliknya. Dia berada di tengah kekuasaan politik dan melayani sebagai menteri, pembantu Presiden.

Ketua II Majelis Sinode GPIB Pdt. Manuel Raintung menyerahkan tandamata kepada Pdt. John C. Simon, kanan.
Bagi Pendeta John C. Simon, W. J. Rumambi adalah sosok berani untuk Melakukan berbagail ditengah situasi yang tidak baik. Itu dapat dilihat dari kiprahnya selama hidupnya di pentas Nasional.
Kiprah Rumambi tercatat utusan GMIM dalam kancah gerakan ekumene diperhitungkan saat menggalang pertemuan yang disebut oleh Holtrop sebagai pertemuan “mengikat janji” di antara para utusan gereja yang datang dari Indonesia Timur (Pdt. E. Durkstra dari GMIT dan Pdt. F.H. de Fretes dari GPM) dalam Konferensi Pekabar-Pekabar Injil di Jakarta tanggal 10-20 Agustus 1946.
Konferensi ini secara khusus membahas masa depan keesaan gerejani di Indonesia. Ditegaskan bahwa tujuan ekumene harus menuju pada terbentuknya satu gereja yang esa berdasarkan motif-motif rohani.
Hasilnya, konferensi Gereja-gereja dan Zending untuk daerah Indonesia bagian Timur dapat dilaksanakan pada 15-25 Maret 1947 di Malino, bertempat di sebuah Kapel Gareja Katolik. Konferensi Malino dapat dianggap sebagai suatu peristiwa yang sungguh berarti dalam sejarah Gereja Kristen di Indonesia, karena dapat berunding dan bersaksi bersama dalam persatuan roh dan persaudaraan yang benar.
Menurut John Simon apa yang dilakukan Rumambi pada zamannya adalah mewujudkan apa yang disebut sebagai perwujudan teologi publik.
Teologi publik, kata John Simon, terhubung dengan apa saja yang termasuk konteks publik, karena fokus teologi publik adalah pada urusan-urusan “publik”.
Dalam arti luas, teologi publik memberi perhatian kepada masyarakat dan apa yang menjadi kebutuhan mendesak dari publik. Di konteks Indonesia, dilema antara teologi kebangsaan dan teologi keagamaan, Indonesia membutuhkan sebuah “teologi publik yang pluralis”.
Teologi publik ini menggeser fokus dan orientasi teologi Kristen yang mengejar kekuasaan menuju mau berada bersama mereka yang menderita yang umumnya adalah orang yang bukan Kristen.
W. J. Rumambi lahir pada 7 April 1916 di Tompaso, Minahasa.” Tahun 1934-1940, ia studi teologi di Hogere Theologische School (HTS -yang kemudian menjadi STT/STFT Jakarta) di Jakarta sebagai angkatan pertama dari STT ini.
Pada 31 Oktober 1940, ia ditahbiskan sebagai pendeta di Jakarta, di usia 24,5 tahun, melayani sebagai pendeta di GMIM.
Jadi, kata John Simon, ini langkah penting bagi GPIB dalam menginstitusionalisasikan salah satu tonggak sejarah dalam tradisi eklesiologinya melalui pembentukan Rumambi Institute.

Sejarawan Benni E. Matindas dengan moderator Jerry Sumampouw saat menyampaikan materinya
Bagi Sejarawan Benni E. Matindas, Rumambi adalah sosok cerdas yang bisa hadir berperan dengan baik diranah politik maupun perjuangannya sebagai seorang pendeta.
“Penyampaian saya mengutamakan peneropongan ke dalam personalitas seorang Pdt. W. J. Rumambi, mengenai apa yang sudah terbukti memampukannya untuk memainkan peran politik sedemikian tepat — tepat bagi bangsa dan negaranya, dan tepat bagi kepribadiannya.
“Dari sejarah jejak-jelejak perjuangan dan pelayanan Pendeta Wim Rumambi, seluruh bangsa kita sampai generasi mendatang bisa melangsungkan proses pembelajaran yang efektif — karena mengenai objek-sejarah yang hidup dan yang sudah menghidupkan nilai-nilai kebenaran etikalnya secara konkret.”
Kehebatan Rumambi sangat diperhatikan oleh Bung Karno. Saat dibentuknya Dewan Nasional Rumambi ada disana dan sangat berperan. /fsp